kuturing: Dasar Fotografi

Asik Indonesia Kebagian Gerhana Matahari Total Pada 2016

KOBA - Kepala Penelitian dan Pengembangan Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).....

Robot Buatan anak Indonesia Meningkat

JAKARTA - Minat anak muda pada robot semakin meningkat, seiring dengan adanya.....

ATSI Dorong Upaya Penindakan Kejahatan Seksual di Internet

JAKARTA - Organisasi penyelenggara telekomunikasi yang tergabung di.....

100 Juta Pengguna Mengunduh WeChat di Google Play di Seluruh Dunia

JAKARTA – Setelah menjadi aplikasi sosial ternama yang tumbuh paling cepat menurut versi GlobalWebIndext.....

Hunting Silahturahmi mahasiswa photography dan photo talk medan

Terima kasih kepada teman-teman Mahasiswa photography dan Photo talk yang .....

Tampilkan postingan dengan label Dasar Fotografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dasar Fotografi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Maret 2014

Cahaya yang keras vs Cahaya yang lembut untuk foto potret

Cahaya yang seperti apa yang bagus buat potret?

potret-cahaya-keras
Foto potret dengan cahaya ang keras

Cahaya yang keras, sumber cahayanya relatif kecil, yaitu sinar matahari di sore hari. Arah cahaya dari arah samping kanan model.

Mungkin ada yang bingung, sinar matahari kok disebut sumber cahaya yang kecil? Ini karena letaknya yang sangat jauh dari bumi sehingga menjadi relatif kecil dipandang dari bumi, kecuali bila awan menutupi sinar matahari.

Kalau kita perhatikan, cahaya yang keras menghasilkan foto yang sangat kontras. Bayangan yang terbentuk juga sangat jelas dan ngeblok (pemisahan yang jelas antara bagian yang disinari dan bayangan). Bayangan semacam ini menutupi sebagian sisi wajah sehingga wajah model terlihat menjadi kurus. Tekstur kulit seperti jerawat, keriput akan menonjol (untungnya, model kita ini memiliki wajah yang cukup mulus).

Sebaliknya cahaya yang lembut akan menghasilkan foto yang tidak sekontras cahaya yang keras, tekstur muka tidak terlalu menonjol, dan bayangannya bergradasi atau hampir tidak ada.

potret-cahaya-lembut
Foto potret dengan cahaya yang lembut

Untuk mendapatkan cahaya yang lembut, kita perlu sumber cahaya yang relatif besar, dalam foto ini, sebuah reflektor berbentuk bulat di gunakan untuk memblok sinar matahari yang datang dari sebelah kanan model. Sehingga jatuhnya cahaya lingkungan lebih merata di wajah model.

Nah yang mana yang lebih bagus? cahaya yang keras atau lembut? semua tergantung selera. Menurut saya dua-duanya sama bagus. Cahaya yang keras terlihat lebih dramatis, sedangkan cahaya yang lembut membuat wajah lebih halus.

Nah, buat teman-teman sekalian, menurut kalian sendiri, mana yang lebih bagus? foto yang atas atau yang bawah? terus alasannya apa?
Jawabannya ditunggu!

Senin, 24 Maret 2014

Seperti apa foto yang warnanya akurat itu?

Pernahkan anda saat mencetak foto mendapati warna hasil cetaknya tidak memuaskan, atau tidak seperti yang diharapkan? Mau komplain tapi ragu karena kita merasa tempat cetak foto tentu sudah punya mesin yang sesuai standar, atau jangan-jangan monitor kita yang justru tidak akurat? Hal yang tidak dialami saat era fotografi film karena kita tidak bisa membandingkan hasil cetak fotonya dengan monitor kita. Lalu bagaimana menyikapi hal ini, dan seperti apa sih foto yang warnanya akurat itu? Hal ini akan kita bahas secara singkat untuk memberi gambaran supaya kita punya alur kerja manajemen warna yang baik mulai dari memotret hingga mencetak.
Pertama untuk menjawab seperti apa sih foto yang warnanya akurat itu ternyata bukanlah hal yang mudah. Karena umumnya akurasi itu relatif, kita perlu mengacu dulu dengan membandingkan dengan apa yang kita lihat langsung obyek fotonya. Bila kita melihat sebuah obyek berwarna merah ya dalam fotonya harus sama merah, bukan keunguan atau merah muda misalnya. Tapi dalam fotografi itu tidak selalu diperlukan akurasi warna yang sangat presisi, dalam foto landscape malah sering warna dibuat berbeda untuk alasan kreativitas atau keunikan. Kebutuhan akurasi warna yang tepat biasanya ditemui dalam foto produk, foto fashion dan foto makanan. Terlepas apa yang kita akan foto, kita sederhanakan saja bahwa kita ingin mendapat foto yang warnanya akurat, bagaimana upaya yang bisa ditempuh?

Pengaturan di kamera

Ada baiknya kita juga memahami bagaimana warna-warni di alam ini bisa direkam oleh kamera. Di bahasan sebelumnya saya menulis tentang sensor dan filter warnanya. Dibutuhkan tiga filter warna yaitu merah (R), hijau (G) dan biru (B) untuk bisa merekam variasi warna yang beragam di alam ini. Lalu kita juga perlu ingat juga kalau warna yang ditangkap oleh sensor dipengaruhi juga oleh warna sumber cahaya yang menerangi obyek yang difoto. Sebagai bagian dari aspek teknis memotret, pengaturan White Balance di kamera menjadi sangat penting untuk langkah awal mendapatkan foto yang akurat. Disinilah kita mengupayakan kamera mendapat warna yang netral, dimana sebuah benda putih akan tampak putih saat diterangi dengan sumber cahaya apapun (matahari, flash, neon, lampu stadion, lampu jalanan, bohlam di kafe atau restoran, dsb).
WB_colortemp
Di kamera ada banyak cara untuk mengatur WB, misalnya :
  • memilih Auto WB : praktis, cukup akurat, tapi tidak konsisten (bila kita ambil banyak foto di tempat yang sama dengan AWB maka tiap hasil fotonya bisa mengalami sedikit variasi warna)
  • memilih preset melalui simbol yang ada : hasil konsisten selama tidak pindah lokasi dan sumber cahaya tetap, tapi akurasi warna belum tentu pasti akurat, tergantung warna dari sumber cahayanya (misal sudah memilih simbol lampu neon, tapi mungkin hasilnya belum bisa netral)
  • memilih nilai Kelvin (K) disesuaikan dengan temperatur sumber cahaya : hasil warna pasti akurat, tapi perlu coba-coba (sayangnya tidak semua kamera menyediakan fitur ini)
  • mengukur benda putih / custom WB : agak repot, mesti memotret benda putih dulu, tapi hasil paling akurat
Custom WB
Nah, dari beberapa cara diatas mana yang paling sesuai untuk dipilih bila tujuan kita mendapatkan warna yang akurat? Saya pikir mengukur benda putih (custom WB) adalah cara paling tepat, walau sedikit repot tapi hasilnya pasti akurat. Untungnya fitur ini tersedia di banyak kamera digital generasi modern termasuk kamera non DSLR.

Akan lebih aman bila kita memotret dengan file RAW, apabila tujuannya adalah akurasi warna. Karena apapun pilihan WB yang diambil saat foto diambil, kita masih bisa atur belakangan saat editing. Apalagi saat memakai file RAW kita juga bisa atur picture style/picture control belakangan, seperti pengaturan saturasi dan hue (color tone) yang sangat mempengaruhi warna. Bila tidak ada tujuan khusus, biarkan setting saturasi dan hue berada di posisi default/tengah-tengah. Bila kita tidak pakai RAW dan hanya memotret dengan file JPG maka lebih amannya memilih picture style Neutral atau Faithful (di kamera Canon).

Melihat atau editing foto di komputer

Nah kalau bicara editing, maka kita bicara monitor yang umumnya kini berjenis LCD (sebagian juga ada yang jenis CRT/tabung). Sama seperti layar LCD di kamera, layar monitor komputer juga belum tentu menampilkan warna yang akurat. Jadi kurang bijak kalau kita menilai akurasi warna hanya mengandalkan layar LCD di kamera. Monitor komputer, termasuk laptop, bisa jadi juga warnanya tidak akurat dan ini tidak ideal untuk dipakai mengedit foto. Untuk akurasi warna, monitor perlu dikalibrasi sehingga bisa menampilkan warna dan juga terang gelap yang standar. Prosedur kalibrasi bisa dilakukan dengan menu di komputer, biasanya kita diminta untuk mengatur setting brightness dan contrast ke nilai tertentu, lalu secara interaktif kita akan memilih beberapa gambar di layar dan komputer akan otomatis membuatkan sebuah profil untuk kita. Cara lain ada juga dengan software khusus, bahkan bisa kalibrasi monitor melalui website online.

Spyder3
Proses kalibrasi monitor yang lebih profesional memerlukan alat bantu berupa spectrocolorimeter, yang akan membaca warna yang ditampilkan monitor lalu secara otomatis membuatkan profil yang sesuai. Dengan cara ini bisa didapat tampilan monitor yang sangat akurat, baik dalam hal menampilkan warna ataupun menunjukkan perbedaan terang gelap (kontras) yang sesuai. Beberapa alat kalibrasi monitor yang populer diantaranya Datacolor Spider, X-rite i1 dan sebagainya. Ilustrasi perbedaan warna yang ditampilkan monitor antara sebelum dan sesudah di kalibrasi kurang lebih seperti gambar di bawah ini :

color-management1

Saat mencetak foto

Oke, bila foto anda hanya ingin dilihat di monitor, langkah kalibrasi di atas sudah selesai untuk mendapatkan warna yang akurat. Tapi bila anda lanjutkan dengan mencetak fotonya, maka ada hal lain yang perlu diketahui guna mendapat akurasi warna pada hasil cetaknya. Cetak foto ada dua macam, cetak ke tempat cetak foto seperti fotolab, atau cetak sendiri di rumah dengan printer foto rumahan. Saya tidak akan membahas cetak foto di lab karena tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengatur akurasi warna disana, alias pasrah akan hasilnya (tipsnya, carilah tempat cetak foto yang akurasi warnanya terkenal baik). Saat mencetak di rumah, yang penting pastikan pengaturan warna di mesin cetak sudah benar, dan gunakan kertas foto yang baik. Setiap kertas foto juga punya karakter berbeda dalam hal penyerapan tinda dan warna putihnya, sebaiknya sesuaikan profil kertas di setting printer dengan kertas yang dipakai. Misal kertas foto jenis glossy, semi gloss, matte, dan juga ketebalannya.

printer foto
 
Printer masa kini tidak lagi hanya mengandalkan tinta warna dasar seperti RGB atau CMYK untuk mencetak foto. Untuk kekayaan warna bisa ditemui printer dengan 6 warna misalnya CMYK plus grey, atau bahkan ditambah light cyan dan light magenta. Semakin banyak tinta yang tersedia maka hasil cetaknya makin kaya warna dan bisa dibuat makin akurat.

Lebih jauh tentang teknologi sensor di kamera digital

Salah satu aspek yang dilihat saat menilai kualitas kamera digital adalah sensornya. Kita tahu sensor pada kamera digital adalah rangkaian peka cahaya, tempat gambar dibentuk dan dirubah menjadi sinyal data. Tidak semua kamera digital punya ukuran sensor yang sama. Sesuai bentuknya, kamera digital yang kecil umumnya pakai sensor yang juga kecil, sedangkan kamera mirrorless dan DSLR memakai sensor yang lebih besar. Sensor dengan luas penampang sama dengan ukuran film 35mm disebut sensor full frame.  

Mengapa penting untuk mengenal ukuran sensor di kamera digital? Karena ukuran sensor berkaitan dengan kemampuan menangkap cahaya dan menentukan bagus tidaknya hasil foto yang diambil. Sekeping sensor pada dasarnya merupakan sekumpulan piksel yang peka cahaya, saat ini umumnya sekeping sensor punya 10 juta piksel bahkan lebih. Makin banyak piksel, makin detil foto yang bisa direkam. Tapi saat bicara kualitas hasil foto, kita perlu mencari lebih jauh info ukuran sensornya, bukan sekedar berapa juta pikselnya saja.

pixels

Megapiksel, atau resolusi sensor, saat ini seperti jadi cara efektif untuk marketing. Maka itu ponsel berkamera pun dibuat punya sensor yang megapikselnya tinggi. Pun demikian dengan kamera saku sampai kamera canggih, semua berlomba menjual ‘megapiksel’ ini. Bayangkan sensor kecil yang dijejali piksel begitu banyak, seperti apa rapat dan sempitnya piksel-piksel itu berhimpit? Dibawah ini adalah contoh ilustrasi ukuran sensor, dua di sebelah kiri (yang berwarna merah) adalah mewakili sensor kecil, umumnya ditemui di kamera saku. Sensor kecil memang murah dalam hal biaya produksi, dan bisa membuat bentuk kamera jadi sangat kecil.

Sensor-size

Di sisi lain, ukuran sensor yang lebih besar memang lebih mahal dan kamera/lensanya jadi lebih besar. Tapi keuntungannya dengan luas penampang yang lebih besar, tiap piksel punya ukuran yang lebih besar dan mampu menangkap cahaya dengan lebih baik. Maka itu saat kondisi kurang cahaya, dimana kamera tentu akan menaikkan ISO (kepekaan sensor), yang terjadi adalah hasil foto dari kamera dengan sensor besar punya hasil foto yang lebih baik. Sedangkan di ISO tinggi, kamera sensor kecil akan dipenuhi bercak noise yang mengganggu. Noise ini oleh kamera modern dicoba untuk dikurangi secara otomatis (lewat prosesor kamera) namun yang terjadi hasil fotonya jadi tidak natural seperti lukisan cat air.

Sensor CMOS vs sensor CCD

Perbedaan utama desain CMOS dan CCD adalah pada sirkuit digitalnya. Setiap piksel pada sensor CMOS sudah memakai sistem chip yang langsung mengkonversi tegangan menjadi data, sementara piksel-piksel pada sensor CCD hanya berupa photodioda yang mengeluarkan sinyal analog (sehingga perlu rangkaian terpisah untuk merubah dari analog ke digital/ADC). Anda mungkin penasaran mengapa banyak produsen yang kini beralih ke sensor CMOS, padahal secara hasil foto sensor CCD juga sudah memenuhi standar. Alasan utamanya menurut saya adalah soal kepraktisan, dimana sekeping sensor CMOS sudah mampu memberi keluaran data digital siap olah sehingga meniadakan biaya untuk membuat rangkaian ADC.
CCD-vs-CMOS-image
Selain itu sensor CMOS juga punya kemampuan untuk diajak bekerja cepat yaitu sanggup mengambil banyak foto dalam waktu satu detik. Ini tentu menguntungkan bagi produsen yang ingin menjual fitur high speed burst. Faktor lain yang juga perlu dicatat adalah sensor CMOS lebih hemat energi sehingga pemakaian baterai lebih awet. Maka itu tak heran kini semakin banyak kamera digital (DSLR maupun kamera saku) yang akhirnya beralih ke sensor CMOS. Adapun soal kemampuan sensor CMOS dalam ISO tinggi pada dasarnya tak berbeda dengan sensor CCD dimana noise yang ditimbulkan juga linier dengan kenaikan ISO. Kalau ada klaim sensor CMOS lebih aman dari noise maka itu hanya kecerdikan produsen dalam mengatur noise reduction.

Cara sensor ‘menangkap’ warna

Warna RGB

Sensor gambar pada dasarnya merupakan perpaduan dari chip peka cahaya (untuk mendapat informasi terang gelap) dan filter warna (untuk merekam warna seakurat mungkin). Di era fotografi film, pada sebuah roll film terdapat tiga lapis emulsi yang peka terhadap warna merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue). Di era digital, sensor kamera memiliki bermacam variasi desain teknologi filter warna tergantung produsennya dan harga sensornya. Cara kerja filter warna cukup simpel, misal seberkas cahaya polikromatik (multi warna) melalui filter merah, maka warna apapun selain warna merah tidak bisa lolos melewati filter itu. Dengan begitu sensor hanya akan menghasilkan warna merah saja. Untuk mewujudkan jutaan kombinasi warna seperti keadaan aslinya, cukup memakai tiga warna filter yaitu RGB (sama seperti film) dan pencampuran dari ketiga warna komplementer itu bisa menghasilkan aneka warna yang sangat banyak. Hal yang sama kita bisa jumpai juga di layar LCD seperti komputer atau ponsel yang tersusun dari piksel RGB.
Proses image capture

Bayer CFA

Sesuai nama penemunya yaitu Bryce Bayer, seorang  ilmuwan dari Kodak pertama kali memperkenalkan teknik ini di tahun 1970. Sensor dengan desain Bayer Color Filter Array (CFA) termasuk sensor paling banyak dipakai di kamera digital hingga saat ini. Keuntungan desain sensor Bayer adalah desain mosaik filter warna yang simpel cukup satu lapis, namun sudah mencakup tiga elemen warna dasar yaitu RGB (lihat ilustrasi di atas). Kerugiannya adalah setiap satu piksel pada dasarnya hanya ‘melihat’ satu warna, maka untuk bisa menampilkan warna yang sebenarnya perlu dilakukan teknik color sampling dengan perhitungan rumit berupa interpolasi (demosaicing). Perhatikan ilustrasi mosaik piksel di bawah ini, ternyata filter warna hijau punya jumlah yang lebih banyak dibanding warna merah dan biru. Hal ini dibuat mengikuti sifat mata manusia yang lebih peka terhadap warna hijau.
Bayer_pattern_on_sensor_profile

Kekurangan sensor Bayer yang paling disayangkan adalah hasil foto yang didapat dengan cara interpolasi tidak bisa menampilkan warna sebaik aslinya. Selain itu kerap terjadi moire pada saat sensor menangkap pola garis yang rapat seperti motif di kemeja atau pada bangunan. Cara termudah mengurangi moire adalah dengan memasang filter low pass yang bersifat anti aliasing, yang membuat ketajaman foto sedikit menurun.

Sensor X Trans

Sensor dengan nama X Trans dikembangkan secara ekslusif oleh Fujifilm, dan digunakan pada beberapa kamera kelas atas Fuji seperti X-E2 dan X-T1. Desain filter warna di sensor X Trans merupakan pengembangan dari desain Bayer yang punya kesamaan bahwa setiap piksel hanya bisa melihat satu warna. Bedanya, Fuji menata ulang susunan filter warna RGBnya. Bila pada desain Bayer kita menemui dua piksel hijau, satu merah dan satu biru pada grid 2×2, maka di sensor X Trans kita akan menemui pola grid 6×6 yang berulang. Nama X trans sepertinya diambil dari susunan piksel hijau dalam grid 6×6 yang membentuk huruf X seperti contoh di bawah ini.

X Trans

Fuji mengklaim beberapa keunggulan desain X Trans seperti :
  • tidak perlu filter low pass, karena desain pikselnya sudah aman dari moire
  • terhindar dari false colour, karena setiap baris piksel punya semua elemen warna RGB
  • tata letak filter warna yang agak acak memberi kesan grain layaknya film
Sepintas kita bisa setuju kalau desain X Trans lebih baik daripada Bayer, namun ada beberapa hal yang masih jadi kendala dari desain X Trans ini, yaitu hampir tidak mungkin Fuji akan memberikan lisensi X Trans ke produsen kamera lain (artinya hanya pemilik kamera Fuji tipe tertentu yang bisa menikmati sensor ini). Kendala lain adalah sulitnya dukungan aplikasi editing untuk bisa membaca file RAW dari sensor X Trans ini.

Sensor Foveon X3

foveon X3 

Foveon sementara ini juga ekslusif dikembangakan untuk kamera Sigma tipe tertentu. Dibanding sensor lain yang cuma punya satu lapis filter warna, sensor Foveon punya tiga lapis filter warna yaitu lapisan merah, hijau dan biru. Desain ini persis sama dengan desain emulsi warna pada roll film foto. Hasil foto dari sensor Foveon memberikan warna yang akurat dan cenderung vibrant, bahasa gampangnya seindah warna aslinya. Hal yang wajar karena setiap photo detector di sensor Foveon memang menerima informasi warna yang utuh dan tidak diperlukan lagi proses ‘menebak’ warna seperti sensor Bayer atau X-Trans.

Yang jadi polemik dalam sensor Foveon adalah jumlah piksel aktual. Misalnya ada tiga lapis filter warna yang masing-masing berjumlah 3,4 juta piksel, maka Foveon menyebut sensornya adalah sensor 10,2 MP karena didapat dari 3 lapis filter 3,4 MP. Ini agak rancu karena saat foto yang dihasilkan dari sensor Foveon kita lihat ukuran pikselnya memang hanya 2268 x 1512 piksel atau setara dengan 3,4 MP.

Salah satu kelemahan dari sensor Foveon adalah noise yang sudah terasa mengganggu walau di ISO menengah seperti ISO 800. Tapi seiring peningkatan teknologi pengurang noise maka hal ini tidak akan jadi masalah serius di masa mendatang.

Kesimpulan

Teknologi sensor gambar masih terus berkembang, dari yang paling mudah dilihat seperti kenaikan resolusi (megapiksel) hingga teknologi lain yang bisa membuat hasil foto meningkat siginifkan. Yang saya cermati adalah era Bayer sudah terlampau usang, dengan teknik interpolasi yang banyak keterbatasan, perlu segera digantikan dengan metoda lain. Sensor X Trans buatan Fuji membawa angin segar dengan peningkatan kualitas foto dibanding sensor Bayer khususnya dalam hal ketajaman dan kekayaan warna, namun sayangnya tidak (belum?) bisa diadopsi di kamera lain. Sensor Foveon pun demikian, walau secara teknik paling menyerupai emulsi film (yang artinya bakal memberi hasil foto yang paling baik) justru dipakai di kamera yang jarang dijumpai seperti kamera Sigma. Sensor kamera yang paling ideal itu harus cukup banyak piksel (detail), punya dynamic range lebih lebar dari sensor yang ada saat ini, punya filter warna yang lebih baik dari Bayer CFA, dan efisien (harga, performa, kinerja ISO tinggi dsb). Kira-kira kapan ya sensor ideal ini bisa terwujud?

Apa itu HDR (High Dynamic Range)?

Sensor gambar kamera (image sensor) belum secanggih mata manusia dalam melihat gelap terang yang sangat kontras di sebuah pemandangan. Misalnya saat menikmati pemandangan matahari terbit atau tenggelam, warna dan corak langit sangat indah dan bervariasi. Sedangkan kamera digital yang kita miliki, meskipun yang paling canggih sekalipun belum mampu merekam detail secara penuh dari pemandangan tersebut. Akibatnya di beberapa bagian foto akan terlihat terlalu terang (putih) dan sebagian akan terlalu gelap (hitam).

Foto matahari terbit tanpa HDR. 1/15 detik, ISO 100, f/16, 17mm
Foto matahari terbit tanpa HDR. 1/15 detik, ISO 100, f/16, 17mm

HDR built-in di kamera Nikon D600 dengan setting exposure 3 stop dan smoothing high

Foto diatas dibuat dengan waktu yang terpaut tidak jauh berbeda, tapi hasilnya sangat berbeda. Di foto yang pertama, saya memotret secara biasa, sedangkan yang kedua dengan mengaktifkan fitur HDR di kamera Nikon D600. Hasilnya, detail awan dan batu-batuan yang tadinya gelap jadi terlihat terang. Sayangnya fitur HDR di kamera Nikon D600 ini hanya bisa diaktifkan jika memilih image quality berbentuk JPG saja, tidak bisa berupa RAW. Sedangkan di kamera Canon 5D Mk 3 sudah bisa merekam foto HDR otomatis dengan format file RAW.

Cukup banyak juga kamera digital baik SLR, compact maupun ponsel yang memiliki fitur ini. Contohnya Pentax K3, Canon 5D Mk3, Canon G16, Nikon Coolpix P100, Sony NEX dan lain lain.

Saat memotret HDR, kita wajib mengunakan tripod atau memastikan komposisi dan kamera tidak berubah. Hal ini karena kamera akan mengambil minimal dua foto (yang satu terang, satu gelap) kemudian kedua foto tersebut akan digabungkan menjadi satu. Dengan demikian hasil foto akhir memiliki detail yang paling lengkap. Saat memotret HDR, pastikan mode yang digunakan adalah Aperture Priority atau Manual, sehingga ruang tajam tidak berbeda. White Balance yang mengatur warna harusnya juga jangan AWB (Auto), tapi ditentukan sesuai sumber cahaya yang ada, misalnya Daylight atau simbol matahari.

Menu dan kualitas olahan HDR kamera masih sangat terbatas baik pilihan dan kualitasnya, maka itu, jika berminat membuat HDR yang lebih sesuai dengan keinginan (baik halus maupun keras/dramatis), maka sebaiknya melakukan teknik HDR secara manual. Caranya yaitu membuat setidaknya dua foto yang berbeda terang-gelapnya, dan lalu diproses dengan software HDR. Saat ini, yang populer adalah software bernama Photomatix atau Adobe Photoshop CS.

Minggu, 23 Maret 2014

Bagaimana memilih mode AF Area di kamera DSLR Nikon

Selama saya mengajar fotografi terutama secara privat, banyak yang memiliki kamera DSLR Nikon menengah-canggih seperti Nikon D300, D700, D800 dan D3-D4, menanyakan tentang mode area fokus. 

Pilihannya cukup banyak dan buku manual tidak begitu rinci membahasnya. 
Sebenarnya tidak rumit-rumit banget kok, yuk, kita simak.

Auto Area AF

auto-area-af
Kamera memilihkan titik auto fokus untuk kita. Biasanya kamera cenderung memilih objek foto yang berukuran besar, kontrasnya tinggi. Enaknya mengunakan auto area AF adalah kita tidak perlu memindahkan dan menentukan titik autofokus, sehingga kecepatan dalam memotret lebih cepat. Kerugiannya adalah kadang kamera salah menentukan hal yang perlu difokus. Contohnya, kamera memilih fokus di pagar daripada satwa yang dibalik pagar, atau memilih fokus ke gedung di belakang padahal kita ingin memotret orang di depan gedung. Di beberapa kamera DSLR Nikon yang terbaru seperti D800, Auto Area AF dilengkapi dengan face detection sehingga fokus lebih akurat saat memotret manusia. Saya sendiri jarang mengunakan auto area AF. Hanya kalau saya tidak bisa melihat jendela bidik misalnya saat saya mengangkat kamera tinggi-tinggi, saya akan gunakan Auto Area AF.

Single Point AF (39 atau 51 titik)

single-af-point
Di mode ini, kita sendiri yang menentukan titik fokusnya. Sesuaikan posisi titik fokus (bentuknya kotak) dengan subjek yang ingin difokuskan. Tekan setengah untuk mengunci fokus. Subjek yang berimpit dengan titik fokus akan tajam. Single Point AF lebih akurat dan lebih sesuai dengan keinginan fotografernya. Maka itu, mode ini yang saya sering gunakan untuk objek yang tidak bergerak.

Single Point AF (11 titik)

11-af-points
Titik fokus yang terlalu banyak kadang membuat kita kerepotan dan memperlambat kita dalam mengganti titik fokus dari satu titik ke titik lainnya. Jika titik fokus dirasa terlalu banyak, maka pilihan 11 titik fokus bisa dipilih. Cara memilihnya yaitu di dalam menu>custom (gambar pensil)>AF Point selection. Disini Anda bisa memilih 11 titik daripada 39 atau 51 titik. Pilihan 11 titik mempercepat proses pergantian titik fokus dari ujung ke ujung bidang bidik.

Saat memilih mode AF-C untuk memotret subjek bergerak, maka terbuka beberapa pilihan lagi yaitu:

Dynamic Area AF (9 titik)

dynamic-area-9-point
Cocok untuk subjek yang bergerak tapi tidak terlalu cepat dengan arah gerakan yang mudah diprediksi, misalnya orang berjalan dari kiri ke kanan. Titik fokus yang aktif hanya 1, tapi ada 8 titik autofokus disekelilingnya yang juga aktif dalam melacak perpindahan subjek foto.

Dynamic Area AF (21 titik)

dynamic-area-21-pointCocok untuk subjek yang bergerak tidak beraturan, misalnya pemain atlit olahraga dan penari. 21 titik autofokus akan siaga untuk melacak dan mengikuti subjek selama tombol shutter/jepret ditahan setengah.

Dynamic Area AF (51 atau 39 titik) dan 3D tracking

dynamic-area-51-point 

Kesemua titik fokus akan aktif melacak pergerakan subjek. Cocok untuk subjek yang bergerak sangat cepat dan sangat tidak beraturan, misalnya pergerakan satwa liar. Saat memilih mode area ini, kita bisa memilih 3D tracking.

3D tracking mengunakan sensor warna untuk melacak subjek foto. Ideal jika subjek fotonya memiliki warna yang berbeda dengan latar belakang. Contohnya memotret mobil merah yang sedang melaju.

AF Area mode Nikon biasanya terletak di dalam menu>custom menu>autofocus
 AF Area mode Nikon biasanya terletak di dalam menu>custom menu>autofocus
Tuas untuk mengganti mode AF area di kamera Nikon D700
Tuas untuk mengganti mode AF area di kamera Nikon D700

Bahas foto siluet anak, pedati & pohon aren

Foto dibawah ini saya buat di Kamboja 2014 yang lalu saat tour fotografi kelompok ke-2. Lokasinya di daerah persawahan yang memiliki banyak pohon aren disekitarnya. Idenya adalah menangkap foto siluet anak dengan kerbau, pedati dan suasana langit matahari terbenam. Kebetulan saat berkunjung kedua kaliny, langit cerah dan matahari menampakkan dirinya. Di kunjungan pertama, hari mendung jadi warna langit abu-abu. 

tour fotografi kamboja
ISO 1000, f/4, 1/500 detik, 100mm

Untuk membuat foto semacam ini, kita perlu berada di posisi lebih rendah daripada subjek foto jika tidak maka bentuknya tidak utuh. Jadi saya turun ke persawahan. Agak becek, tapi tidak masalah.

Secara komposisi, saya menempatkan anak dan kerbau disebelah kiri, karena dia menghadap ke arah kanan. (Lebih tepatnya saya menempatkan diri dan mengarahkan kamera supaya posisi anak & kerbau disebelah kiri bidang gambar). Kemudian pedati dan pohon disebelah kanan. Saya sengaja memasukkan pohon aren dan pedati di dalam bidang gambar supaya mendapat kesan lingkungan tempat saya memotret. Saya berpindah-pindah mencari sudut supaya pedati dan pohon tidak menabrak/menutup satu sama lainnya. Awan-awan dilangit yang berwarna jingga juga saya perhatikan dan saya upayakan untuk menjadi “leading line” yang menunjuk pada anak (jagoan di foto tsb).'

Untuk setting kamera, saya mengunakan bukaan f/4 supaya anak dan dan keseluruhan kerbaunya tajam, dan shutter speed 1/500 detik untuk mendapatkan foto yang tajam meskipun kerbau dan anak tersebut bergerak-gerak. Lensa telefoto saya juga gak ada image stabilizationnya, jadi amannya pakai shutter speed yang lebih cepat untuk mencegah foto blur karena getaran tangan. Jarak fokus lensa yang saya gunakan yaitu 100 mm.

Akibatnya, kamera memilih nilai ISO yang cukup tinggi yaitu 1000 karena kondisi cahaya makin redup. Saya mengunakan mode Manual dan auto ISO dimana maximum ISO saya set cukup tinggi yaitu ke ISO 3200. Tidak masalah, karena rata-rata kamera digital SLR / mirrorless zaman sekarang cukup baik kualitas gambarnya sampai ISO 1600. Lebih baik mendapatkan foto yang tajam daripada noise. Karena noise dapat dilenyapkan melalui software olah digital.

Lensa telefoto mengkompresi ruang sehingga foto tersebut terkesan datar/dua dimensi. Pohon aren dan awan dari kejauhan terlihat lebih dekat dari aslinya.

Foto ini terlihat sederhana, tapi untuk membuatnya diperlukan kesabaran untuk menunggu sampai cahaya dan posenya pas, dan juga perlu mencari titik sudut pandang yang pas supaya elemen-elemen di dalam foto bekerja dengan baik dan terasa harmonis dan seimbang.

Bahas pembuatan foto Reruntuhan Mistik

Foto reruntuhan candi di Kamboja (Candi Ta Phrom) ini adalah salah satu foto favorit saya saat bersama-sama peserta tour ke Kamboja. Candi Ta Phrom adalah candi kedua yang paling populer setelah Angkor Wat, karena di dalam candi ini banyak pohon-pohon  yang tinggi tumbuh diatas menara dan tembok candi. Candi ini menjadi sangat terkenal setelah menjadi lokasi syuting film Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie.

Di siang hari dan sore hari, candi ini penuh oleh wisatawan. Untuk masuk saja harus mengantri cukup panjang. Maka itu, untuk mengakalinya, kita pergi pagi-pagi dan tiba sekitar jam 7 pagi saat wisatawan lain sibuk sarapan di hotel. Meskipun tiba jam 7, wisatawan sudah cukup banyak yang masuk ke dalam Candi yang relatif kecil ini.

ISO 125, f/4, 1/250 detik, 19mm (FF). Candi Ta Phrom
ISO 125, f/4, 1/250 detik, 19mm (FF). Candi Ta Phrom

Foto diatas saya buat di jalan keluar Candi Ta Phrom yang masih relatif sepi. Yang membuat saya tertarik untuk membuat foto ini adalah cahaya pagi yang menyinari reruntuhan Candi. Cahaya matahari pagi yang masih rendah membuat bayangan yang cukup panjang dan dramatis. Sebagian cahaya tertutup oleh dedaunan pohon. Cahaya seperti itu menambah kesan tiga dimensi dan suasana misterius. Untungnya lagi cahaya yang menembus dedaunan menerangi bagian yang unik dari candi,yaitu pahatan bidadari yang dinamakan Apsara.

Secara teknis, saya mengunakan setting bukaan yang terlalu besar yaitu f/4. Seharusnya f/8 atau f/11 supaya ketajamanan foto merata ke seluruh bidang foto. Untungnya saya mengunakan lensa lebar dengan jarak fokus 19mm di kamera full frame (Nikon D600), sehingga meskipun bukaan f/4 saja, di ujung-ujung foto masih terlihat cukup jelas/tajam.

Jarak fokus lensa yang saya gunakan yaitu 19mm (sekitar 12-13mm di kamera bersensor APS-C). Jarak fokus yang lebar membuat saya bisa memasukkan pemandangan yang cukup luas meskipun tempatnya tidak begitu luas. Akibat pemakaian lensa lebar ini, bagian ujung foto agak distorsi (perhatikan bentuk pahatan Apsara yang berada  di sebelah kiri foto),

Untuk memberikan kesan klasik dan supaya pencahayaan yang belang-belang ini lebih menonjol, saya mengubah foto yang berwarna menjadi hitam putih. Foto ini terlihat menarik karena arah dan jatuhnya cahaya, bukan hanya reruntuhannya saja. Jika saya pergi kesana lagi tapi waktu dan cahayanya berbeda, maka dampak dari  fotonya akan berbeda.

Orientasi Portrait

Sebagian besar foto yang dibuat berorientasi landscape/horizontal. Kemungkinan karena cara kita memegang kamera berorientasi landscape. Sebenarnya orientasi portrait cocok untuk berbagai jenis fotografi, dari landscape, portrait, arsitektur dan sebagainya. Orientasi portrait juga lebih cocok untuk layout majalah jika Anda ingin menjual karya Anda di kemudian hari.

Jikalau tidak nyaman memegang kamera dengan orientasi portrait/vertikal, kita bisa memasang battery grip yang berfungsi juga untuk menyimpan cadangan baterai.

Untuk arsitektur, terutama foto bangunan tua, orientasi vertikal cocok untuk banyak hal, terutama untuk memotret pintu dan jendela. Jika ingin garis-garisnya tegak lurus, usahakan jangan mendongakkan kamera ke atas atau kebawah. Jika terpaksa, misalnya karena ruangan sempit atau objek yang difoto terlalu tinggi, gunakan pengolah foto digital seperti Adobe Photoshop CS atau Lightroom.

tjong-a-fie-medan

Untuk foto portrait, secara alami orientasi yang sering digunakan adalah orientasi portrait/vertikal. Nama orientasi portrait ini didapatkan dari nama jenis fotografi ini. Untuk foto portrait, usahakan jangan menyisakan ruang yang terlalu banyak dibagian atas. Jika yang difoto lebih pendek dari kita, jangan lupa untuk sedikit jongkok sehingga bentuk tubuh lebih proporsional.

portrait-selly-devi-andriani

Untuk foto pemandangan, biasanya orientasi landscape jauh lebih populer. Tapi untuk pemandangan tertentu, orientasi portrait lebih cocok, seperti pemandangan air terjun seperti dibawah ini.

air-terjun-sarupa

Atau bunga dan alam

macro-bunga

Yuk, perbanyak  foto orientasi portrait :)

Belajar mengunakan teknik fokus hyperfocal distance

Memfokuskan lensa ke jarak hiperfokal (hyperfocal) memastikan bahwa 1/2 jarak dari jarak hiperfokal sampai tak terhingga dalam fokus/tajam. Ada tiga faktor yang mempengaruhi jarak hiperfokal yaitu bukaan lensa, rentang fokal lensa (focal length) dan ukuran sensor kamera.
Teknik mengunakan hyperfocal distance sering digunakan oleh fotografer landscape, street photography supaya objek foto dan latar belakangnya tajam. Teknik ini berperan sangat penting saat memotret dengan lensa/kamera yang tidak mendukung fungsi autofokus. Contohnya kamera rangefinder seperti Leica, atau saat mengunakan lensa yang tidak memiliki fungsi autofokus seperti lensa-lensa Samyang, Carl Zeiss dan lain lain. Syaratnya kamera harus bersensor full frame (36 x 24 mm) bukan APS-C. Sayangnya kamera DSLR jaman sekarang sebagian besar bersensor APS-C jadinya tanda tersebut kurang begitu relevan/akurat.

Di lensa 35mm f/1.8G, tidak ada tanda jarak fokus dan hyperfocal
Di lensa 35mm f/1.8G, tidak ada tanda jarak fokus dan hyperfocal

Lensa yang dibuat di era kamera film biasanya memiliki jarak fokus dan tanda hyperfocal yang jelas
Lensa  yang dibuat di era kamera film biasanya memiliki jarak fokus dan tanda hyperfocal yang jelas dan cukup lengkap

Di era autofokus (AF), menerapkan teknik ini menjadi lebih sulit karena lensa-lensa modern tidak memiliki tanda hyperfocal distance (tanda jarak fokus hyperfocal yang terukir di lensa). Jika Anda mengunakan lensa jaman dahulu, periksalah lensa Anda.

Langkah-langkah mengunakannya cukup mudah.
  1. Tentukan nilai aperture/bukaan yang dikehendaki, misalnya f/22
  2. Putar laras fokus sampai angka 22 yang terletak disebelah kiri yang sejajar dengan tanda tak terhingga
  3. Bacalah angka sebelah kanan yang sejajar dengan angka 22
Dalam kasus lensa Nikkor AF 50mm f/1.8D ini, saya mendapatkan jarak kurang lebih 2 meter. Artinya, objek yang terletak 2 meter sampai tak terhingga akan fokus (tajam).

Jarak hyperfocal
Set tanda tak terhingga sejajar dengan 22 dan perhatikan angka di sebelah kiri yang sejajar dengan angka 22. Kira-kira jatuh pada angka 2 meter (antara 1.5-3 meter).

Di lensa jaman sekarang biasanya tanda hyperfocal dihapus, yang ada cuma jarak fokus saja. Jika tetap ingin mengunakan teknik ini maka diperlukan tabel atau kalkulator. Tapi metode kalkulator ini juga sulit diterapkan karena kebanyakan lensa tidak memberikan tanda jarak fokus secara lengkap.

Keuntungan teknik hyperfocal adalah Anda tidak perlu mengaktifkan autofokus (tidak perlu menekan setengah tombol jepret), jadi bisa jadi lebih cepat dalam memotret. Kelebihan ini banyak digunakan oleh street photographer untuk merekam momen dengan cepat.

Teknik ini tidak begitu cocok saat mengunakan lensa yang berbukaan besar, rentang jarak fokus hyperfokal sempit, jadi kemungkinan objek yang ingin difokuskan bisa jadi gak fokus. Oleh sebab itu, teknik ini lebih cocok saat mengunakan bukaan yang kecil dan lensa yang lebar.

Mengunakan tabel

Jika lensa yang digunakan tidak memiliki tanda depth of field, maka cara lain yaitu dengan menghitung dengan kalkulator atau melihat tabel. Contohnya: Jika mengunakan kamera bersensor APS-C dan lensa 24mm, bukaan f/22 maka jarak hyperfocalnya adalah 0.9 m. Artinya apa saja yang terletak dari jarak (0.9 m / 2) = 0.45 m sampai tak terhingga akan berada dalam fokus/tajam.
Untuk membuat tabel, rekomendasi saya adalah halaman di website ini.
kalkulator-fokus-hyperfocal


Kapan saya mengunakan mode manual dan aperture priority (A/Av)

Mode manual adalah mode yang paling fleksibel untuk merealisasikan efek kreatif fotografi yang dikehendaki. Di mode manual, kita bisa mengendalikan exposure yaitu bukaan lensa, shutter speed, ISO dan pengaturan lainnya. Lalu, kapan mode manual itu cocok untuk dipakai? Sebelum memutuskan untuk memakai mode manual, sebaiknya mempelajari dulu tentang hukum segitiga emas exposure.

Saya biasanya mengunakan mode manual biasanya saat memotret pemandangan sunset dan sunrise. Kamera saya dudukkan ke tripod dan saya atur kecerahan dengan mengatur shutter speed, sedangkan bukaan dan ISO saya atur supaya tetap. Misalnya f/16 dan ISO 100.

Dalam meliput kegiatan indoor yang cahaya ruangannya konstan/tidak berubah, saya sering mengunakan mode manual. Karena cahaya konstan saya tinggal mengatur exposure yang diinginkan dan memotret tanpa kuatir terang gelap foto berubah-ubah.

Mode manual kembali saya gunakan untuk memotret yang melibatkan lampu kilat, terutama di dalam ruangan. Hal ini karena alat pengukur cahaya/metering kamera, hanya mengukur cahaya lingkungan atau ambient light saja. Sehingga pilihan kamera dengan mode otomatis tidak selalu akurat sesuai dengan apa yg saya inginkan.

Sebagai contoh, metering kamera biasanya berusaha mencari setting supaya cahaya lingkungan terang, sedangkan saat memakai lampu kilat untuk foto produk, still life atau portrait di studio, saya justru tidak menginginkan cahaya ambient masuk ke foto. Dengan mode manual, saya dengan mudah dapat membatasi cahaya lingkungan untuk masuk ke dalam kamera dengan mengatur shutter speed yang cepat. Contoh 1/250 detik.

Meskipun mode manual sangat fleksibel, tapi ada kalanya kita tidak memiliki waktu yang terlalu banyak untuk mengubah setting kamera. Contohnya seperti saat memotret liputan acara, olahraga dan satwa liar yang mana subjek foto bergerak dengan cepat dan tak terduga. Cahaya yang berubah-ubah juga menyulitkan.

Mode kamera alternatif yang saya gunakan yaitu mode A / Av atau disebut juga mode prioritas apertur. Di mode ini, saya menentukan nilai bukaan kamera saja, dan kamera membantu saya mencari nilai shutter speed yang menghasilkan foto dengan tingkat kecerahan yg tidak terlalu terang atau gelap.

Jika pilihan setting exposure kamera tidak sesuai dgn apa yang saya inginkan. Saya biasa mengunakan fungsi kompensasi eksposur untuk mengatur kecerahan gambar. Nilai positif untuk meningkatkan kecerahan dan nilai negatif untuk menggelapkan.

Dan apabila shutter speed yang dipilihkan kamera terlalu lambat, saya akan menaikkan ISO. Dengan menaikkan ISO, shutter speed otomatis akan meningkat nilainya.

Mode lainnya jarang saya gunakan karena menurut pengalaman saya, mode manual dan aperture priority sudah cukup memenuhi berbagai jenis fotografi yang saya praktikkan.

 Untuk foto sunset, kebiasaan saya adalah mengunakan mode manual. ISO 200, f/11, 3 detik

Tips foto model: Komposisi

Di workshop portrait model kemarin, ada peserta yang menanyakan tentang bagaimana membuat komposisi yang menarik. Menurut saya, komposisi itu tergantung bagaimana apa yang kita ingin ceritakan.
Kita bisa mengkomposisikan secara ketat dengan hanya mengikutsertakan wajah model saja, atau mengikutsertakan lingkungan sekitar. [Baca juga rasio wajah]. Untuk komposisi yang wajah yang ketat saja, posisi wajah dan mata adalah sesuatu yang penting. Biasanya saya mengikuti aturan sepertiga (rule of thirds). Saya menghindari memposisikan wajah di tengah-tengah karena nanti jadinya seperti pas foto. Contohnya seperti di bawah ini:

Di close-up ini, wajah model diposisikan agak ke kanan mengikuti aturan sepertiga. Cahaya dari latar belakang memberikan kesan dimensi dan tekstur. Pencahayaan utama ke wajah adalah flash+payung dari sebelah kiri atas. Dengan adanya sinar lampu kilat di tempat yang tertutup, mata model menjadi lebih hidup karena ada pantulan cahayanya. Model: Auorellia Inez.

Untuk komposisi subjek foto beserta lingkungannya, yang penting diperhatikan adalah latar belakang jangan ada hal-hal yang mengganggu perhatian. Misalnya ada turis lewat, atau hal-hal yang tidak nyambung dan merusak estetika, contohnya sampah.

Di foto yang ini, saya memasukkan lebih banyak latar belakang untuk menceritakan suasana / lingkungannya. Banyak orang lalu lalang di bagian belakang, sehingga saya harus sabar menunggu momen yang tepat. Pencahayaan alami dari matahari.

Setelah menguasai teknik dan setting kamera, komposisi memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi fotografer pemula. Tapi jangan kuatir, semua ini bisa dipelajari. Saran saya adalah terus berlatih, banyak melihat foto-foto yang bagus dan praktik. Bersabarlah, karena mempelajari komposisi ini 50% teori, 50% dari pengalaman. Alhasil, lama kelamaan mata dan feeling kita akan semakin jeli dan terasah.

Prinsip Face-ism Ratio (Rasio wajah)

Face-ism ratio adalah perbedaan rasio wajah dan badan dalam suatu foto. Prinsip ini mengatakan rasio ini akan mempengaruhi bagaimana orang-orang menanggapi suatu foto.
Di dalam foto yang menonjolkan wajah, yaitu kepala dan bahu, semakin orang-orang memperhatikan kepribadian seperti kepintaran, sifat seseorang. Sedangkan di dalam foto satu badan atau 3/4 badan, maka orang-orang akan lebih memperhatikan kualitas fisik dan sensualitas daripada kepribadian.
Di prakteknya, kita bisa mengunakan prinsip ini untuk membuat foto yang sesuai dengan yang kita/klien inginkan. Jika klien ingin menonjolkan kepribadiannya, kita bisa membuat foto yang rasio wajahnya relatif tinggi, sedangkan jika kualitas fisik yang ingin ditampilkan, maka kita membuat foto 3/4 atau satu badan penuh.

Natalie-Portman-wajah
Contoh foto headshot diatas membuat orang-orang terfokus pada kepribadian model

natalie-portman-badan
Sedangkan jika foto satu badan membuat orang-orang lebih memperhatikan kualitas fisik model daripada kepribadiannya.

Belajar foto air slow speed dengan filter ND

Foto di pantai berkarang sangat baik untuk latihan foto slow speed. Untuk mendapatkan foto dengan aliran air yang mulus seperti kapas membutuhkan shutter speed yang lebih lambat dari 1/4 detik. Semakin lambat, semakin mulus aliran airnya.

Saya sedang mendemonstrasikan cara mengunakan filter ND untuk mendapatkan foto air yang mulus

Ada dua kendala saat memakai shutter speed lambat. Pertama kita harus mengunakan tripod, jika tidak, getaran tangan kita akan membuat foto blur. Kedua, jika kita motret di siang hari saat matahari sedang terang-terangnya, foto akan terlalu terang/over exposure.
Untuk mengatasi masalah kedua, kita membutuhkan filter yang dinamakan filter ND (Neutral Density). Filter ini akan membatasi cahaya yang masuk ke lensa. Filter ini macam-macam kepekatannya. Satuannya stop. Setiap 1 stop, berarti filter ini mengurangi cahaya 1/2 nya.
Penamaan filter ND ini agak bervariasi dan cukup memusingkan. Misalnya ND8 (0.9) itu berarti 3 stop, ND4(0.6) itu 2 stop, ND64 (1.8) itu 6 stop dan ND1024 (3.0) itu 10 stop. Daftar lengkapnya bisa dibaca di wikipedia. Ada juga ND filter yang bisa berubah-ubah tingkat kepekatannya. Namanya Variable ND filter.
Berikut ini beberapa langkah mudah:
  1. Set kamera ke tripod
  2. Set kamera ke mode A/Av lalu set ke f/11 atau f/16 (cukup lumayan ruang tajamnya), hindari f/20 atau lebih kalau bisa karena ketajaman foto akan menurun
  3. Set ISO ke nilai yang terendah (biasanya 100 atau 200)
  4. Lihat setting ISO, Aperture dan Shutter speed
  5. Pindahkan ke mode manual, copy setting tersebut
  6. aktifkan fokus ke subjek  dengan menekan setengah tombol jepret / tombol AF-ON
  7. Pindahkan mode auto fokus ke manual fokus
  8. Pasang filter ND
  9. Lambatkan shutter speed dengan menyesuaikan kepekatan filter ND yang digunakan
  10. Tekan tombol jepret untuk membuat foto. Lebih baik lagi mengunakan cable release supaya kamera tidak goyang
Contoh, dalam kasus saya, shutter speed yang saya dapat tanpa filter adalah 1/320 detik, maka saya melambatkan shutter speed dengan mengowes dial ke kiri sebanyak 3 X 10 stop = 30 kali. Hasilnya saya mendapatkan  shutter speed 3 detik. Kalau ND filternya 3 stop, maka 3 x 3 = 9 kali.
Di foto dibawah ini, saya memakai filter ND 10 stop. Akibatnya, saya dapat memakai lensa shutter speed 3 detik daripada 1/320 detik jika tidak memakai filter ND.

Dengan filter ND 10 stop – ISO 200, f/11, 3 detik 
 
Foto ini dibuat tanpa filter ND – ISO 200, 120mm, f/11, 1/320 detik
 
Selamat dipraktikkan.

Memahami exposure dengan perumpamaan

Untuk memahami exposure, kita membutuhkan pemahaman atas hukum timbal balik exposure. Karena bentuknya abstrak, maka tidak mudah dimengerti. Saya mencoba mengunakan analogi mengisi ember dengan air. Cahaya diibaratkan dengan air.


Tujuan kita adalah mengisi ember dengan air sampai penuh. Jika ember tidak penuh, foto akan gelap, jika ember kepenuhan sampai airnya meluber keluar, fotonya akan terlalu terang.
  • Keran air diibaratkan sebagai bukaan/aperture lensa. Semakin besar bukaan keran, semakin deras air yang mengalir. Demikian sebaliknya jika keran dibuka kecil saja, maka semakin pelan air yang mengalir.
  • Lamanya waktu pengisian air diibaratkan sebagai shutter speed. Semakin lama kita mengisi ember, semakin banyak air yang masuk ke ember. Demikian pula sebaliknya, semakin sebentar air mengalir, semakin sedikit air yang masuk ke ember.
  • Besarnya ember yang ada diibaratkan sebagai ISO. Semakin besar embernya, semakin lama waktu atau bukaan keran besar dibutuhkan. Sebaliknya, semakin kecil embernya, semakin sedikit waktu atau besarnya bukaan keran yang dibutuhkan.
Ember besar ibaratnya adalah ISO rendah (100-200), sedangkan Ember kecil ibaratnya ISO tinggi (1600 keatas).
Tugas utama kita sebelum memotret adalah menentukan ISO, bukaan lensa dan shutter speed untuk mendapatkan exposure yang pas. Atau dengan kata lain kita menentukan ukuran ember yang digunakan, bukaan keran dan lamanya waktu mengisi air.
Untuk lebih jelasnya, baca juga segitiga emas exposure

Memahami Aperture / Bukaan

Memahami bukaan lensa sangat penting bagi pelajar fotografi karena bukaan menentukan dua hal penting. Dan sebenarnya tidak sukar memahami bukaan. Tulisan ini adalah penjelasan yang lebih mendalam dari tulisan Segitiga Emas Fotografi.

aperture-bukaan-lensa

 

1. Bukaan menentukan banyaknya cahaya yang masuk

Semakin besar bukaan, semakin besar cahaya yang masuk.

2. Bukaan menentukan kedalaman fokus

Semakin besar bukaan, kedalaman fokus menjadi tipis, sehingga latar belakang lebih kabur / blur daripada bukaan yang kecil.
Itu saja, sederhana bukan? Memang sederhana kok hehe..

bukaan-aperture
Contoh berbagai ukuran bukaan di lensa. Kamera digital SLR sekarang telah mengunakan kamera untuk mengganti besarnya bukaan

Ukuran Bukaan

Ukuran bukaan agak unik karena semakin kecil angkanya, semakin besar bukaannya.
Contoh: f/1.4, f/2, f/4. f/5.6, f/8, f/16, dst.
Dari f/1.4 ke f/2 itu besarnya cahaya yang masuk berkurang dua kali lipat.
Kisaran bukaan tergantung lensa yang dipakai, ada lensa yang punya bukaan  f/1.4, ada juga yang f/3.5 atau f/4.
Mengenai bukaan dan jenis-jenis lensa, saya sarankan untuk membaca tulisan [ Menerjemahkan kode kode lensa ]

Menerjemahkan kode lensa digital SLR

Saat kita baru masuk ke dunia kamera DSLR salah satu yang cukup membingungkan adalah menerjemahkan arti dari lensa. Di blog ini saya mencoba menjelaskan berbagai model lensa dan artinya.

Canon EF-S 18-55 mm f/3.5-5.6 IS

Lensa zoom ini biasanya dipaket saat membeli kamera dSLR Canon untuk pemula seperti Canon 1100D, 550D, 600D

Canon EF-S : artinya model lensa yang dirancang khusus untuk kamera DSLR dengan sensor krop/kecil (relatif dengan kamera film (full frame). Lensa ini tidak bisa digunakan untuk dipasang di DSLR kamera full frame seperti Canon 5D atau Canon 1Ds.

18-55mm : Ini rentang fokal lensa. 18mm memberikan sudut pandang lebar, sedangkan 55mm agak sempit/telefoto. Bagi yang berpengalaman dalam mengunakan kamera film, rentang fokal lensa ini ekuivalen dengan kurang lebih 29-88mm. Rentang fokal lensa ini cukup fleksibel untuk penggunaan sehari-hari.

f/3.5 – 5.6 : Ini berarti rentang maksimal bukaan lensa. Pada rentang fokal 18mm, maksimal bukaan adalah f/3.5 sedangkan pada rentang fokal 55mm, maksimal bukaan adalah f/.5.6.
IS : Singkatan dari Image Stabilization, artinya lensa ini memiliki kemampuan untuk meredam getaran tangan kita sehingga gambar yang dihasilkan tidak blur. Fitur ini sangat berguna terutama pada saat kita mengambil foto dengan setting kecepatan pemantik rendah.

Contoh lain yaitu
Canon EF-S 17-55mm f/2.8 IS USM
Bila Anda melihat angka bukaan cuma 1 saja, seperti lensa diatas (f/2.8), ini berarti lensa ini memiliki bukaan konstan. Dari rentang fokal 17 sampai 55mm, maksimal bukaan yang bisa kita pergunakan adalah f/2.8.
USM : Singkatan dari Ultrasonic Motor. Ini menandakan di dalam lensa ada built-in auto fokus. USM juga menandakan auto fokus lebih cepat dan tidak bersuara.

Canon EF 50mm f/1.8
Lensa diatas ini hanya mempunyai sebuah rentang fokal yaitu 50mm. Artinya lensa ini bukan lensa zoom (Anda tidak bisa zoom mengunakan lensa ini, untuk memperbesar/memperkecil objek, anda harus mendekati objek atau menjauhi objek).

Lensa ini juga memiliki kode EF  bukan EF-S yang berarti lensa ini bisa dipakai di kamera full frame.
Canon EF 70-200mm f/4 IS USM

Lensa diatas disebut juga telephoto zoom karena rentang fokalnya cukup besar yaitu 70-200mm
Sayangnya kode lensa ini tidak berlaku universal, sehingga lensa merek lain akan memiliki kode yang berbeda-beda. Tetapi tidak masalah, biasanya struktur kodenya sama. Daftar singkatan dibawah ini akan mempermudah pengertian Anda terhadap lensa-lensa bukan Canon.

HSM : Singkatan dari Hypersonic Motor. Artinya kurang lebih sama dengan USM, auto fokus cepat dan tidak bersuara. Kode ini akan Anda temukan di lensa merek Sigma.

AF-S : Sama dengan kode diatas, kode ini akan Anda temukan di lensa merek Nikon.

SAM : Sama dengan kode diatas, kode ini akan Anda temukan di lensa merek Sony.

AF : Lensa Nikon yang tidak memiliki auto fokus built-in. Di kamera pemula Nikon seperti D60 dan D5000, tidak bisa mengunakan lensa ini untuk auto fokus, tapi harus dengan manual fokus.

VR  : Singkatan dari Vibration Reduction, fungsinya sama dengan Image Stabilization.

OS  : Singkatan dari Optical Stabilization, fungsinya sama dengan Image Stabilization. Kode ini akan Anda temukan di lensa Sigma.

VC :  Singkatan dari Vibration Compensation, fungsinya sama dengan Image Stabilization. Kode ini akan Anda temukan di lensa Tamron.

DX, DT, DC : Kode lensa yang di optimalkan untuk kamera sensor krop. Kode ini akan Anda temukan di lensa Nikon, Sony atau Sigma.

DG : Kode lensa yang di kompatibel untuk kamera sensor krop dan full frame. Kode ini akan Anda temukan di lensa Sigma.

STM: Stepper Motor, motor autofokus yang senyap dan mulus, ideal saat merekam video

KIT: Lensa yang biasanya dipaketkan dengan kamera, biasanya kualitasnya standar
Demikian, semoga dapat membantu.

Rabu, 19 Maret 2014

Tips foto malam (night photography) dengan kamera compact

Foto di malam hari itu menarik karena warna dan cahayanya sangat berbeda dengan siang hari. Saturasi warna dan kontrasnya biasanya lebih tinggi. Kita bisa menggunakan kamera compact ataupun DSLR untuk membuat foto malam yang bagus.
Tantangan foto malam adalah kita harus bisa membayangkan kira-kira hasil fotonya seperti apa. Saat pakai long exposure (shutter speed lambat), kita hanya bisa menduga-duga. Karena langit yang menurut mata kita gelap pekat bisa dibuat jadi biru di foto. Untungnya, kamera digital memungkinkan kita  melihat secara langsung hasil foto via layar LCD kamera.
Tantangan terakhir adalah kita perlu semacam support/tripod supaya saat memakai shutter speed lambat. Tujuannya supaya kamera tidak goyang dan menyebabkan foto menjadi blur.

ISO 80, f/2.5, 8 detik, 28mm, Ricoh GRD IV sekitar pukul 20.00 malam. Mungkin ada yang bertanya2.. mengapa f/2.5? Di kamera compact f/2.5 setara dengan sekitar f/11 di kamera DSLR full frame. Baca: perbandingan ruang tajam kamera DSLR dan compact

Langkah-langkah night photography:

  1. Set kamera di tempat yang steady dan tidak miring. Gunakan penyangga seperti tripod mini (untuk compact). Enaknya ketika mengunakan tripod  adalah kita bisa mengarahkan kamera ke atas atau kebawah.
Jika memiliki kamera yang bisa kita atur mode exposurenya, saya anjurkan menggunakan mode manual
  1. Set nilai ISO yang paling rendah, misalnya 80, 100 atau 200 untuk kualitas foto yang bening dan tajam
  2. Untuk kamera DSLR, set bukaan/aperture ke f/8 – f/16 supaya ruang tajamnya cukup besar, untuk compact cukup bukaan sekitar f/2.5-3.5
  3. Set nilai shutter speed agak lambat, supaya cahaya mencukupi, biasanya antara 6-20 detik tergantung kondisi cahaya yang ada.
Jika memiliki kamera yang tidak bisa diatur exposurenya, bisa mengunakan pilihan night scene. Jangan lupa menggunakan tripod.
Selamat hunting!

Apa itu Scene modes?

Selain mode automatic, banyak orang yang mengunakan scene modes untuk memotret. Scene modes adalah beberapa mode untuk membantu kamera memilih setting yang tepat sesuai dengan subjek yang difoto. Scene modes ditemukan di kamera pocket sampai DSLR kelas menengah.

Di kelas DSLR canggih, scene modes ditiadakan karena pengguna kamera DSLR canggih dianggap sudah bisa menyeting secara manual dan tidak membutuhkan scene modes lagi.

Scene modes populer bagi yang menyukai kepraktisan dan tidak mau pusing-pusing untuk menyeting kamera. Dibawah ini adalah penjelasan dari beberapa efek scene modes populer. Untuk mengetahui secara lengkap teknis masing-masing scene modes, kita bisa membacanya di buku manual kamera masing-masing.

Scene Modes kamera compact Nikon

Portrait (simbol wajah manusia) : Kamera akan berusaha mendeteksi wajah dan berusaha melembutkan wajah. Ketajaman dikurangi supaya pori-pori atau jerawat di wajah tidak terlalu jelas. Kamera juga akan memilih bukaan lensa yang relatif besar untuk membuat latar belakang blur.

Landscape (simbol gunung) : Biasanya digunakan untuk foto pemandangan. Kamera akan cenderung memilih bukaan lensa yang kecil supaya semua bidang foto tajam. Selain itu ketajaman dan warna biru dan hijau saturasinya dibuat lebih tinggi supaya detailnya lebih terlihat dan menarik.

Olahraga (simbol orang berlari) : Kamera akan memilih shutter speed yang cepat dengan upaya untuk membekukan gerakan. Mode autofokus akan berubah menjadi subjek tracking (AI-Servo/AF-C) untuk mengikuti pergerakan subjek. Kamera juga akan memilih drive mode continuous shooting, sehingga saat tombol jepret kamera ditekan dan ditahan, kamera akan terus menerus membuat foto.

Night Portrait (simbol manusia dan bintang) : Hampir sama dengan scene Portrait. Sebagai tambahan, kamera akan memilih shutter speed lambat, dengan tujuan untuk menangkap cahaya lingkungan. Biasanya hasilnya lebih baik dan tajam jika mengunakan lampu kilat.

Night Scene (simbol bulan) : Untuk foto pemandangan malam. Kamera akan memilih shutter speed yang lambat supaya foto di malam hari terlihat terang. Dibutuhkan tripod supaya foto tidak blur.

Close-up (simbol bunga) : Untuk foto-foto subjek dengan jarak dekat (dibawah 30 cm). Idealnya saat mengunakan lensa makro. Di kamera compact, biasanya lensanya sudah ada fitur makronya. Dengan menekan simbol bunga, maka lensa akan mencari fokus terdekat. Cocok untuk foto serangga, bunga, benda-benda kecil lainnya.

Monokrom (simbol hitam putih) : Mengubah warna menjadi grayscale (hitam putih). Baik untuk foto tulisan atau hal-hal yang tidak membutuhkan warna. Sebaiknya tidak menggunakan untuk mendapatkan foto hitam putih karena nantinya tidak bisa dikembalikan ke warna. Hasil akan lebih baik jika kita mengkonversi foto warna ke monokrom melalui software pengolah foto.

Kembang api : Kamera akan memilih shutter speed yang sangat lambat dan menyeting fokus ke tak terhingga. Harus pakai tripod jika tidak foto akan blur karena goyangan tangan kita.

Panorama : Scene mode yang paling menarik untuk foto pemandangan yang lebar. Kita tinggal menekan tombol jepret dan menggerakkan kamera dari kiri ke kanan atau tas ke bawah.

Artikel terbaru

Berita Handphone

More on this category »

Berita Internet & Web

More on this category »

Teknik Hacking

More on this category »

Berita Robot

More on this category »

Berita Pemrograman

More on this category »

Berita kamera

More on this category »