KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4
Juni 1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, “Imam Negara Islam
Indonesia”, “diringkus” tentara di persembunyiannya yang becek dan
basah, di sebuah hutan yang tidak lebat di Jawa Barat.
Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa
Tengah, tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak
buahnya menyerbu markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun
ketika itu, Kastolani bertambah geram akan sikap para komandannya.
“Komandan Batalion” dan “Komandan Resor Militer” Tentara Islam
Indonesia di Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. “Saya
tegaskan: komandan yang menyerah akan saya tembak,” tuturnya kepada
Tempo di rumahnya di Salem, Brebes, akhir Juli lalu.
Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat
melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak.
“Saya perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah,” ia
mengenang, dengan nada pahit. “Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan
salat.”
Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada
1953. Ia terpikat janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan
Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong,
Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara Islam Indonesia memikat ribuan orang
pada mulanya.
Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi
anggota ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu
mengobarkan semangat jihad dan memerangi “pemerintahan kafir” Soekarno.
Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara
Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi
hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin,
dan Jati Rokek. Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes
yang hutannya masih tersisa hingga kini.
Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada
Sekutu, Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi
Sekretaris Partai Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak
partai, gagasan ini didukung banyak ulama di Jawa Barat.
Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan
Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua
laskar itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk
pada Februari 1948. Merasa mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan
Tentara Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai
Masyumi Jawa Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.
Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia,
mengatakan keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari strategi
Karto menggunakan ajaran tasawuf. “Modelnya tasawuf bercampur unsur
kebatinan,” katanya.
Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di
Gunung Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari
keramaian, membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab,
aktivitas ini disebut riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin,
Karto meyakinkan bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika
memperoleh wahyu pertama kali di Gua Hira.
Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat “wahyu cakraningrat”-sinar
terang yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab.
Sinar itu disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan,
mantan Panglima Tentara Islam Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962,
mengatakan bahwa dengan “wahyu cakraningrat” Karto mengklaim dirinya
sebagai “khalifatullah”. Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam
seluruh umat Islam di dunia.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi,
Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan
ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat
manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa
menyatukan dua senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika
ia ditangkap pada 3 Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.
Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini
dan Kelak, Kartosoewirjo menulis, “Heru Tjokro” merupakan “makhluk
Allah yang suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah
sejati, yaitu Negara Islam Indonesia.” Heru Tjokro juga diartikan
sebagai: “penyapu masyarakat jahiliah”. Pemerintah Soekarno dianggap
kafir karena tidak menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan
harus diperangi.
Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa
penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad
menghadapi perlawanan kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi
Tentara Nasional Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara
tasawuf yang tidak agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya memerangi
pemerintah.
Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada
malam-malam tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah
“D-Satu”-daerah yang sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka
berdoa, berzikir, dan bersalat tahajud bersama. Semua dilakukan, menurut
Solahudin, demi “menggapai wangsit dari langit”.
Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas
Malikussaleh, Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan
pengaruh tasawuf, apalagi yang berbau mistik. “Informasi itu bias, hanya
cerita dari mulut ke mulut,” katanya.
Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada
imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo,
seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara
Islam Indonesia dituntut tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan
kesetiaan ini, sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh,
Tentara Nasional Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan
Tentara Islam Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar