Hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Awalnya adalah anak-anak
yang bermain. Mengira bahwa kaki yang menjulur pada sebuah gubuk
kelompok tani adalah milik orang gila yang biasa tidur di situ. Mereka
menggoda sambil melempari dengan kerikil. Setelah berkali-kali dilempari
dan tak ada reaksi, mereka pun mendekat. Alangkah terkejutnya ketika
mereka mendapati bahwa kaki yang menjulur itu adalah kaki seorang mayat
perempuan.
Mayat tersebut tergeletak dalam posisi terlentang. Sekujur tubuhnya
penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan
tangannya lecet-lecet, diduga akibat diseret dalam tangan terikat.
Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Dari
sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan
dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih
berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas.
Hanya, dan hanya, secarik potongan resi wesel sudah cukup untuk memberi petunjuk bagi aparat kepolisian untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut. Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada beberapa waktu lalu terlibat aksi mogok. Tapi apakah darah dan bekas-bekas penganiayaan yang meluluhlantakan tubuh Marsinah juga akan cukup memberi petunjuk siapa tokoh penganiayaan dan kepentingan-kepentingan apa yang ada dibalik penganiayaan tersebut di kemudian hari?
Hanya, dan hanya, secarik potongan resi wesel sudah cukup untuk memberi petunjuk bagi aparat kepolisian untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut. Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada beberapa waktu lalu terlibat aksi mogok. Tapi apakah darah dan bekas-bekas penganiayaan yang meluluhlantakan tubuh Marsinah juga akan cukup memberi petunjuk siapa tokoh penganiayaan dan kepentingan-kepentingan apa yang ada dibalik penganiayaan tersebut di kemudian hari?
Pengetahuan Mengubah Nasib
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga
bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia
tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah
kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama
bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang.
Sedang pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis
berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya
kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu
luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada
kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang
dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia
sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan,
biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji,
pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan teman sebayanya yang
lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan
membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk
menyaksikan siaran berita televisi.
Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri
dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia
dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia
selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya
menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak
punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Marsinah ingin sekolah di IKIP. Tapi saat itu tidak memiliki
biaya.
Pergi meninggalkan desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit
terelakan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai
buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat tradisional
penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak
memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan
teknologi semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak mengherankan, bau
keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi udara
pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang
terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia
berusaha mengirimkan sejumnlah lamaran ke berbagai perusahaan di
Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu
BATA di Surabaya tahun 1989. setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji
Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah
mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong,
Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi
buruh pabrik.
Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat
belajarnya padam. Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu
mengubah nasib seseorang. Karena itu, untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di
Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan Word
Processor sempat dirampungkan beberapa waktu sebelum ia meninggal.
Semangat belajar yang tinggi juga tampak dari kebiasaannya menghimpun
rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio
maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Saking senangnya membaca,
ia terpaksa memakai kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali
membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli koran dan majalah
bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya
hidup.
Marsinah dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, tingan
tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai
persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia
selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali
membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia
juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia
kawan—inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada
pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik
tempat kerja Marsinah—resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar
Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para
pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada
minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan
di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan
dalam Surat Edaran Gubernur.
Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei
1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para
Kepala Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman
mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor
Depnaker Surabaya untukmencari data tentang daftar upah pokok minimum
regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak
pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk
rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift
serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan
masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi
para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga
mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para
pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
Bangkitnya Keberanian
Suasana kota yang penuh dengan persaingan telah membuat setiap orang
yang tinggal didalamnya untuk menjadi keras. Apalagi kehidupan
buruh-buruh di pabrik yang setiap hari dikejar-kejar target produksi
yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Maka menjadi tidak
mengherankan bahwa Marsinah, gadis desa yang lugu, lalu tidak canggung
berdiri di barisan terdepan pengunjuk rasa. Sebuah keberanian telah
menggusur kepasrahan pada nasib!
Semakin merebak jumlah aksi pemogokan di berbagai kota industri
menjadi bukti ketidakpuasan. Pabrik, gedung Dewan Perwakilan Rakyat,
instansi-instansi pemerintah yang berurusan dengan masalah perburuhan,
dan jalanan-jalanan kota menjadi panggung yang mementaskan keresahan
kaum buruh yang tak kunjung terhenti. Menurut berita, di Jawa Timur
tercatat 155 pemogokan yang semuanya dihadapi tentara.
Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan
sebelum aksi berlangsung. Marsinah sempat berujar kepada salah seorang
aparat keamanan, Ya sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan masuk,
keamanan saya serahkan kepada bapak, kami sekarang hendak berunding
dengan pengusaha!
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut,
sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang
tidak mau mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang
belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari
sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah
perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata
tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo.
Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa
babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK.
Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis
yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat
yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara
ikut bermain.
Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya
adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari
kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan
kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang teriakkan, dan
dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya
pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam
masyarakat kita.
Kemarahan Marsinah meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada
kawan-kawannya. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah
seorang kawannya, lantas pergi. Kemana perginya Marsinah? Tidak ada yang
tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia
bekerja sejak saat itu.
Awal Kebangkitan
Marsinah telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan
Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa
ditemukan tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka
memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet-lecet,
mungkin karena diseret dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur
karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela pahanya ada
bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul.
Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah
ketakutan dan kecurigaan. Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya
tidak bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi untuk berubah
menjadi lidah-lidah api yang akan menghanguskan segala bentuk
ketidakadilan.
Anak-anak desa yang menemukan Marsinah, dan kita, menjadi saksi.
Sekarang atau esok, anak-anak itu dan kita akan terus bersaksi dan
bercerita tentang ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh pejuang,
tentang buruh perempuan yang tidak ragu untuk kehilangan nyawanya demi
keyakinannya tentang kebenaran.***
0 komentar:
Posting Komentar