Jasad Marsinah diketahui publik tergeletak di sebuah gubuk berdinding
terbuka di pinggir sawah dekat hutan jati, di dusun Jegong, desa
Wilangan, kabupaten Nganjuk, lebih seratus kilometer dari pondokannya di
pemukiman buruh desa Siring, Porong. Tak pernah diketahui dengan pasti
siapa yang meletakkan mayatnya, siapa yang kebetulan menemukkannya
pertama kali, dan kapan? Sabtu 8 Mei 1993 atau keesokan hari Minggunya?
Seperti juga tak pernah terungkap melalui cara apapun: liputan pers,
pencaraian fakta, penyidikan polisi, bahkan para dukun maupun
pengadilan, oleh siapa ia dianaya dan di(ter)bunuh? Di mana dan kapan ia
meregang nyawa, Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya?
Kita cuma bisa berspekulasi dan menduga-duga. Kita memang bisa
mereka-reka motif pembunuhan dan menafsirkan kesimpulannya senidri. Tapi
kita tak mampu mengungkap fakta-faktanya. Kunci kematiannya tetap gelap
penuh misteri hingga kini, walau tujuh tahun berselang.
Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana, sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang penting kemudian, melainkan jalinan citra yang tersusun melalui serangkain pertarungan wacana yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Para aktivis perburuhan menyanjungnya sebagai suri teladan pejuang buruh. Penguasa militer pusat dibantu setempat merekayasa penyelubungan kasusnya sekaligus menyusun skenario peradilan. Kepolisian setempat menyidik tersangka palsu. Para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan perempuan. Para seniman mendramatisasi nasibnya ke dalam lagu, mengabadikanya dalam monumen, patung, lukisan, panggung teater dan seni rupa instalasi. Para aktivis hak asasi menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Khalayak awam prihatin dan bersimpati membuka dompet sumbangan bagi keluarganya. Para birokrat serikat pekerja melambangkanya sebagai korban kesewenangan majikan. Keluarganya sendiri yang sederhana, sebagaimana kebanyakan sikap keluarga pedesaan Jawa, menerimanya dengan pasrah dan tabah. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Marsinah, tipikal buruh perempuan desa yang mengkota tapi
terpinggirkan, tiba-tiba muncul sebagai pahlawan di tengah hiruk pikuk
industrialisasi manufaktur dan represi penguasa di pertengahan dasawarsa
90-an. Ia bukan hanya mewakili ‘nasib malang’ jutaan buruh perempuan
yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat karya berupah
rendah, berkondisi kerja buruk, dan tak terlindungi hukum, tapi
pembunuhannya yang dimediasikan dan diartikulasikan oleh media massa
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan
hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya
masyarakat, birokrasi militer, kepolisian, dan sistem peradilan.
Marsinah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan,
Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya, lahir dari pasangan Astin dan
Sumini di desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, kabupaten Nganjuk. Ibunya
meninggal saat ia berusia 3 tahun (lahir 1968) dan adiknya Wijiati
berumur 40 hari. Ayahnya kemudian menikah lagi dengan dengan Sarini,
perempuan dari desa lain. Sejak itulah Marsinah kecil diasuh neneknya,
Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Tak ada yang istimewa dari masa kecil Marsinah. Ia tipikal anak
perempuan kalangan menengah pedesaan yang hidup subsisten, tak terlampau
miskin, walaupun tidak kaya. Seperti mayoritas anak-anak pedesaan di
Indonesia, juga di negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya, ia sudah bekerja
pada usia dini dan tampak lebih dewasa dari usianya. Bekerja bagi mereka
sangat lazim, termasuk kerja upahan di rumah maupun di pabrik. Sepulang
sekolah, ia membantu neneknya menjual beli gabah dan jagung, dan
menerima sekedar upah untuk mengangkut gabah dengan bersepeda dari sawah
atau rumah orang yang gabahnya sudah dibeli.
Di kalangan teman-teman dan gurunyanya, di SD Negeri Nglundo,
meskipun kepandaiannya dipandang biasa-biasa saja, tapi kerajinan, minat
baca, sikap kritis dan tanggungjawabnya menonjol. Setiap tugas sekolah
selalu berupaya diselesikannya. Jika ada penuturan gurunya yang kurang
jelas, tak segan ia mengacungkan tangan meminta penjelasan. Setelah naik
kelas VI, ia pindah ke SDN Karangsemi, dan kemudian melanjutkan ke SMP
Negeri V Nganjuk pada tahun ajaran 1981/82. Di sinilah, sebagaimana
harapan banyak anak Indonesia sesusianya, cita-citanya terbentuk.
Mencoba melanjutkan ke SMA Negeri, namun gagal, dan akhirnya ke SMA
Muhammadiyah dengan bantuan biaya seorang pamannya yang lain. Di SLTA,
minat bacanya semakin meluas. Di waktu senggang ia lebih banyak ke
perpustakaan ketimbang bermain. Lagi-lagi seperti banyak gadis desa
sebayanya, cita-citanya untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum kandas,
karena keluarganya tak mampu membiayai kuliah.
Tak ada pilihan lain kecuali mencari lapangan kerja di kota besar.
Tahun 1989, ia ke Surabaya, menumpang di rumah kakaknya, Marsini, yang
sudah berkeluarga. Setelah berkali-kali melamar kerja ke berbagai
perusahaan, akhirnya Marsinah diterima bekerja pertama kali di pabrik
plastik SKW kawasan industri Rungkut. Gajinya jauh dari cukup. Untuk
memperoleh tambahan penghasilan ia nyambi jualan nasi bungkus di sekitar
pabrik seharaga Rp.150,-/bungkus. Sebelum akhirnya, tahun 1990, bekerja
di PT Catur Putra Surya –Rungkut, ia sempat bekerja di sebuah
perusahaan pengemasan barang. Urbanisasi, berdagang untuk penghasilan
tambahan, dan berpindah kerja dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk
mendapatkan upah yang lebih layak, merupakan kisah klasik buruh
perempuan di Jawa sejak awal dasawarsa 80-an.
Di pabrik pembuatan arloji di Rungkut, Surabaya, dengan beberapa
kawannya, Marsinah menuntut berdirinya unit serikat pekerja formal
(SPSI). Tuntutan inilah mungkin membuatnya dipindah pihak menejemen ke
pabrik PT CPS lainnya di Porong, Sidoarjo pada awal tahun 1992. Ia
mondok di pemukiman sekitar pabrik, desa Siring, dan bekerja sebagai
operator mesin bagian injeksi dengan upah Rp. 1.700,- dan uang hadir Rp.
550,- per hari.
Di pabrik itu, seperti kebanyakan buruh lainnya, Marsinah bukanlah
termasuk kelompok aktivis. Ia tidak masuk dalam kepengurusan unit kerja
SPSI di pabrik ini maupun ikut kelompok informal buruh yang sering
berdiskusi membahas kondisi kerja mereka. Waktu luangnya dimanfaatkan
secara pribadi untuk mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris.
Belajar menambah pengetahuan menjadi hasratnya sejak bersekolah dulu,
karena ia percaya melalui pendidikanlah masa depan seseorang menjadi
lebih baik. Suatu common sense yang dianut banyak orang.
Pemogokan buruh untuk meningkatkan posisi berunding mereka merupakan
hal umum pada ribuan perusahaan manufaktur di berbagai kawasan industri
sejak akhir dasawarsa 80-an. Akibat kebijakan upah buruh murah
pemerintah dan industrialisasi berorientasi ekspor, sengketa perburuhan
meluas. Intensitas dan skala pemogokan meningkat luar biasa sejak awal
90-an. Tiada hari tanpa pemogokan atau unjuk rasa. Meskipun lebih
bersifat spontan atau sporadis, sangat jarang terjadi gelombang
pemogokan yang terorganisasikan. Sebabnya sangat jelas, karena lemah
atau dilemahkannya serikat buruh serta kendali represif pemerintah yang
sangat kokoh melalui birokrasi sipil dan militernya hingga ke kawasan
pabrik. Dalam konteks ekonomi-politik inilah tuntutan buruh-buruh PT CPS
di akhir April 1993 dan pemogokan mereka, 3-4 Mei 1993, yang berujung
pada pembunuhan Marsinah, musti diletakkan.
Tetapi dalam seluruh aktivitas perundingan yang melibatkan 24 orang
perwakilan buruh (15 di antaranya wakil buruh yang dipilih spontan, dan
sisanya 9 orang pengurus SPSI setempat) maupun aksi mogok di PT CPS, 3-4
Mei tersebut, Marsinah tak pernah ikut serta. Pada pemogokan 4 Mei,
saat perundingan berlangsung antara wakil buruh dan para birkorat yang
melibatkan pejabat Depnaker, DPC SPSI, Kanwil Sospol Sidorjo dan jajaran
Muspika setemapat termasuk wakil Polsek dan Danramil Sidorjo,
berlangsung di kantor pabrik, ia malah bekerja seperti biasa. Sementara,
pagi hingga menjelang siang itu juga, seorang kawannya yang dituding
sebagai pemrakarsa pemogokan tengah memenuhi surat panggilan Kodim dan
dinterogasi di Makodim Sidoarjo.
Perundingan yang tidak melibatkan pihak perusahaan itu sendiri
berjalan lancar. Meskipun ada beberapa kompromi, hampir semua butir
tuntutan buruh terpenuhi. Kecuali tuntutan yang lebih ‘politis’ seperti
pembubaran unit kerja SPSI yang dianggap tidak berfungsi mewakili
kepentingan mereka. Hal-hal yang dalam wacana pemerintah dipandang
sebagai soal-soal normatif seperti kenaikan upah sesuai peraturan UMR,
perhitungan upah lembur, cuti haid dan cuti hamil, dijanjikan pihak
perusahaan.
Meskipun demikian, dalam kerangka bekerjanya rejim pengandali buruh
di Indonesia, seperti di negara-negara
miltary-beareucratic-authoritarian lainnya, aparat militer menduduki
peran sentral. Mereka bukan hanya centéng yang menjadi penjaga malam
kepentingan para pemodal, tapi lebih dari itu adalah patron yang
kekuasaannya melampaui imperatif kepentingan modal. Sudah menjadi
rahasia umum, jajaran birokrasi komando teretorial Orde Baru memperoleh
sumber daya ekonominya dari memeras para pengusaha. Baik buruh maupun
majikan disandera untuk menciptakan ancaman satu sama lain. Dari ancaman
itulah birokrasi militer memperoleh uang. Pada momen tertentu, meski
tak harus melalui upaya provokasi, pemogokan buruh dijadikan senjata
untuk menodong para pemilik perusahaan agar mereka rela mengeluarkan
biaya-biaya keamanan. Pada momen yang lain, dan ini yang sering terjadi,
buruh-buruh diancam, diintimidasi dan dikontrol sepenuhnya dalam
kendali mereka, bukan kendali pabrik.
Apa yang terjadi sore hari 4 Mei 1993 adalah awal dari ujung kematian
Marsinah. Menyimpang dari ‘logika’ suksesnya sebuah perundingan, 13
buruh PT CPS yang dicap sebagai dalang oleh penguasa militer setempat
dipanggil melalui surat yang ditandatangani sekretaris kelurahan Desa
Siring agar menghadap Pasi Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Malamnya, di
pemukiman buruh sekitar pabrik, mengetahui teman-temanya besok akan
dipanggil, Marsinah menulis suatu catatan kepada seorang temannnya.
Isinya semacam petunjuk jawaban bagi rekan-rekannya bila mereka
dinterogasi di Kodim. Ia pun mengatakan pada kepada rekan-rekannya, bila
mereka diancam Kodim, ia akan membawa perosalan ini ke seorang pamannya
di Kejaksaan Surabaya.
Rabu 5 Mei 1993, 13 buruh PT CPS memenuhi panggilan Kodim. Di
markasnya, Sidoarjo, mereka dipaksa menandatangani surat pengunduran
diri di atas kertas bermaterai dengan berbagai intimidasi maupun
bujukan, termasuk akan diberi uang pesangon dan ‘uang kebijaksanaan’.
Tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali patuh, menandatangani surat
tersebut. Selepas Maghrib, mereka menerima pembagian uang pesangon yang
diberikan langsung oleh pihak menejemen di markas itu. Sempat terlontar
dari salah seorang menejer PT CPS bahwa pemecatan tersebut bukan kemauan
perusahaan, tapi kehendak Kodim. Suatu kaidah normal dalam logika rejim
pengendali buruh.
Sementara itu, sepulang kerja giliran pagi, Marsinah bertemu dengan
salah satu temannya dan mengingatkan rencana pertemuan para buruh untuk
mendengar informasi rekan-rekannnya yang dipanggil. Di rumah
pondokannya, ia membuat surat pernyataan kepada perusahaan, yang
dituliskan oleh teman satu kosnya yang juga buruh PT CPS. Sorenya, surat
itu difotokopi dan berencana dibagikan ke teman-temannya pada pertemuan
malama hari. Tadinya surat itu hendak disampaikan ke perusahaan melalui
ketua unit kerja SPSI PT CPS, tapi Marsinah dan seorang temannya yang
memboncengkannya dengan motor tidak berhasil menemukan rumah si ketua.
Akhirnya ia sampaikkan langsung ke pabrik melalui satpam.
Memenuhi rasa ingin tahu perkembangan ke-13 teman-temannya, sepulang
mengantar surat, Marsinah kembali ke pondokan seorang temannya.
Menjelang Maghrib, bersama empat temannya mereka memutuskan menyusul ke
Kodim untuk mencari kabar. Tiga temannya naik kendaraan umum. Ia sendiri
membonceng sepeda motor, dan sempat tersesat hingga pusat kota
Sidoarjo. Di Makodim Sidoarjo, tiga temannya sudah tiba lebih dulu. Tapi
mereka semua terlambat. Ke 13 temannya sudah kembali pulang. Dalam
perjalalan pulang besepeda motor, Marsinah sempat mampir ke beberapa
teman buruhnya untuk membagi-bagikan foto kopi surat pernyataannya.
Di perempatan desa Siring, Marsinah bertemu dengan empat dari 13
temannya. Karena silang pembicaraan di antara mereka terlalu ramai,
Marsinah mengajak dua orang temannya bercakap-cakap di teras rumah
pondokannya. Ia menceritakan bahwa telah membuat surat ke perusahaan dan
menunjukkannya. Sebaliknya, Marsinah sangat terkejut dan gusar, ketika
mengetahui ke-13 buruh yang dianggap biang pemogokan sudah dipecat di
Makodim. Ia tidak menerima pemecatan itu, dan menegaskan akan mengadu ke
pamanya yang jaksa di Surabaya itu.
Setalah teman-temannya pamit pulang, Marsinah masuk ke dalam rumah.
Beberapa menit kemudian ia pamit kepada ibu pondokannya untuk ke rumah
seorang teman perempuannya. Ia mengenakan kaos putih, rok coklat dan
bersandal jepit. Tapi ia tidak bertemu temannya itu karena kerja giliran
malam.
Dalam perjalanan kembali ke pondokannya, ia berjumpa dengan dua orang
kawannya yang lain, lalu mengajak mereka ke rumah pondokan teman
lainnya untuk meminta Surat Persetujuan Bersama hasil perundingan 4 Mei
1993. Baginya surat kesapakatan itu penting untuk memastikan janji pihak
perusahaan pada butir 10 kesepakatan tersebut, (kutipan aslinya):
“Sehubungan dengan unjuk rasa ini (pemogokan kerja), pengusaha dimohon
untuk tidak mencari-cari kesalahan karyawan”
Tetapi kesalahan buruh tetap dicari, dengan akibat pemecatan mereka.
Janji tidak dipatuhi. Ia merasa diperlakukan sewenang-wenang, tidak
adil. Kuasa otoriter tiba-tiba muncul dihadapannya, mengoyak akal
sehatnya. Membuatnya geram, merasa dikhianati. Meskipun belum jelas
baginya, siapa yang berkhianat? Pihak perusahaan atau Kodim?
Tak seorangpun dapat mengetahui apa yang ada dalam benak Marsinah
malam itu: Rabu 5 Mei 1993. Yang diketahui, sepulang dari rumah temannya
yang memberi Surat Persetujuan tersebut, ia mengajak dua kawan yang
menemaninya untuk membeli makanan. Tapi karena sudah larut malam,
menjelang setangah sepuluh, keduanya menolak. Mereka berpisah di bawah
pohon mangga dekat Tugu Kuning, desa Siring.
Sejak saat itulah ia ‘hilang’. Tak ada yang mengetahui kemana
Marsinah pergi. Mungkin ia pergi makan, atau bertemu seseorang, yang
mungkin ‘menculiknya’. Atau mungkin ia kembali ke Makodim Sidoarjo? Yang
bisa dipastikan, ia tidak kembali ke pondokannya malam itu. Ia tidak
pergi ke pabrik. Ia juga tidak berkunjung ke rumah pamannya di Surabaya.
Missing link itu tak pernah terungkap di pengadilan sesat yang sarat
rekayasa. Majikannya, pemilik PT CPS, para menejer perusahaan, bagian
personalia, kepala bagian mesin, dan seorang satpam dan seorang supir
perusahaan disekap dan disiksa Bakorstranasda selama 19 hari, di bulan
Oktober 1993. Mereka dituduh bersekongkol memperkosa, menganiaya dan
kemudian membunuh Marsinah. Bersama Danramil Porong, mereka diadili dan
diputus bersalah oleh Pengadilan Militer dan Pengadilan Negeri Sidoarjo,
dan diperkuat Pengadilan Tinggir Surabaya setahun kemudian. Meskipun
dua tahun kemudian, 3 Mei 1995, mereka divonis bebas Mahkamah Agung,
tapi ini hanya menunjukkan betapa sistem peradilan dan hukum kita bukan
tempat untuk menegakkan keadilan.
Maka penyelidikan dan penyidikan ulang dilakukan, pertangahan 1995.
Kepolisian RI turun tangan. Tim forensik dari Jakarta membongkar ulang
(yang ketiga kalinya!) makam Marsinah. Berbagai komentar dan analisa
merebak di surat kabar. Komnas HAM mendukung penyelidikan ulang.
Panglima ABRI menginstruksikan pengusutan. Bahkan Menaker Abdul Latief
berjanji mengungkapnya hingga tuntas, dan Presiden Suharto kala itu
mendukungnya. Namun tak ada ‘hasil’ apapaun yang dicapai dari
hiruk-pikuk wacana itu. Isu-isu lain menelan kasus ini kembali ke bawah
permukaan, dan orang lupa atau coba melupakannya.
Pun saat rejim berganti. Ingatan banyak orang mencuat kembali. Baik
pemerintahan Habibie maupun Gus Dur menunjukkan niatnya untuk mengungkap
kegegeran lama itu, apapun penyebabnya: tekanan internasional, tuntutan
LSM, legitimasi politik, hak asasi manusia, rasa bersalah ataupun upaya
sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan, rule of law. Bahkan,
terakhir ini, DPRD Jawa Timur sudah meminta keterangan dan penjelasan
beberapa perwira tinggi dan intelejen ABRI yang dianggap mengetahui dan
bertanggungjawab atas kebijakan rejim saat itu. Mereka semua mengelak.
Tak ada informasi yang signifikan, tak ada argumen yang bermakna, tak
ada fakta-fakta dan bukit-bukti ‘baru’, yang dapat dijadikan dasar bagi
upaya meraih keadilan. Semua pertanyaan kunci sederhana tak pernah
terjawab: kapan Marsinah mati, di mana, oleh siapa, dengan cara
bagaimana? Atau mungkin memang tak hendak dijawab, oleh siapapun kita.
Kita merasa cukup puas, bahkan terpuaskan, sekedar menyatakan:
“Marsinah, seperti halnya sebagaian besar kita, adalah korban dari suatu
mesin kekuasaan dan kekerasan, yang bernama Orde Baru”. Dan kita merasa
mampu, dengan rasa bangga, menobatkannya menjadi seorang pahlawan, yang
mengasingkan dirinya, juga diri kita, dari kehidupan sehari-hari.
Karena kita masih menjadi bagian: Orde Baru.
0 komentar:
Posting Komentar