Jangan terperangkap kualifikasi - kuturing

Senin, 24 Maret 2014

Jangan terperangkap kualifikasi

Artikel ini berasal dari salah satu tips yang saya tulis di buku Fotografi itu Mudah!: 100+ tips dunia fotografi. Beberapa pembaca memberikan feedback bahwa mereka sangat menyukai tips ini. Tanpa saya sadari, tips ini belum dimuat di Infofotografi :) Inilah tips ke-50: Sebuah tips yang berarti bagi saya dan mudah-mudahan bermanfaat buat semua:

Di dalam hidup dan khususnya fotografi, apakah kualifikasi seperti titel, diploma, sertifikat, dan lain lain dibutuhkan untuk sukses? Menurut saya, kualifikasi semacam itu tidak dibutuhkan.
Salah satu kutipan favorit saya berasal dari Soechiro Honda (pendiri Honda Automotive)
“Tiket untuk menonton film lebih bernilai daripada ijazah sekolah”
Ucapan ini dilontarkannya saat Honda baru berusia 15 tahun.
Ironisnya, masih banyak orang yang mencari sertifikat daripada ilmu yang sebenarnya. Tidak jarang saya menerima telpon yang menanyakan apakah saya menyediakan sertifikat setelah mengikuti kelas-kelas fotografi.

Kira-kira 2 tahun yang lalu, saat saya mengikuti pelatihan, ada peserta yang sudah menguasai semua materi pelatihan. Saat ditanya mengapa dia mengikuti pelatihan tersebut oleh instruktur, dia mengungkapkan dia membutuhkan sertifikat tersebut untuk karirnya. Menurut saya, langkahnya sangat disayangkan karena membuang waktu dan uang untuk hadir di pelatihan tersebut.

Hal ini tidak terlepas karena adanya pola pikir dan cara sebagian besar perusahaan dalam mengelola karyawannya. Di perusahaan besar, departemen sumber daya manusia (SDM/HRD) biasanya mengkaji berbagai kualifikasi entah itu diploma, sertifikat dan jabatan lama seorang calon karyawan.

Kualifikasi ditentukan oleh perusahaan karena efisiensi penting bagi mereka. Perusahaan menganggap ongkos terlalu mahal jika mewawancarai satu per satu aplikasi lamaran kerja. Perusahaan lebih mempercayai data yang ada di lembaran CV daripada kualitas sebenarnya dari aplikan tersebut.
Jika perusahaan mencari robot untuk bekerja di perusahaan tsb, cara menyortir calon karyawan dengan metode diatas memang efisien. Tapi kalau perusahaan ingin mencari seseorang seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckenberg atau orang-orang yang dapat mengubah perusahaannya bahkan dunia secara radikal, metode ini kurang efektif.

Saya memiliki dosen saat saya kuliah di Bucknell University. Beliau bernama William Gruver. Professor favorit saya ini adalah mantan eksekutif tinggi di sebuah perusahaan investasi yang besar. Dari kerjanya berpuluh tahun, beliau sudah mencapai kebebasan finansial dengan pendapatan ratusan ribu Dolar AS perbulan. Saat pensiun, beliau ingin menyumbangkan ilmunya untuk generasi penerus dan pernah melamar untuk mengajar sebagai guru SMA, tapi ditolak karena tidak memiliki sertifikat sebagai guru dan juga hanya bertitel S2. (Di Amerika Serikat, penerimaan kualifikasi guru / dosen sangat tinggi, minimal S3 / Phd untuk mengajar di universitas).

Untungnya, Bucknell University tidak mementingkan kualifikasi tapi lebih ke hasil karya profesornya menerimanya sebagai dosen. William Gruver diterima mengajar di Universitas tersebut dan merupakan profesor (dosen) terbaik yang saya pernah dapatkan selama disana dan sering menerima penghargaan.

Jika menuruti aturan kualifiikasi, saya juga tidak berkualifikasi sebagai fotografer karena saya tidak kuliah di jurusan fotografi. Saya juga tidak berkualifikasi sebagai instruktur fotografi karena tidak memiliki sertifikat sebagai guru atau tidak pernah kuliah di jurusan pendidikan. Saya juga tidak berkualifikasi sebagai penulis karena saya tidak sekolah di jurusan sastra. Tapi nyatanya alumni kursus kilat saya sudah lebih dari 1000 orang, sebagian besar mengikuti 4-5 kelas lanjutan. Sebagai penulis blog dan buku bertema fotografi, buku yang saya tulis sudah dicetak dan terjual lebih dari 25,000 buku.

Jika saya memilih melamar kerja di sebuah perusahaan, paling-paling saya jadi karyawan dengan gaji pas-pasan, cukup untuk bayar apertemen sederhana, makan dan bensin. Karena umur saya sudah kepala tiga, mungkin saya malah tidak akan diterima sama sekali, kalah sama yang muda-muda yang masih segar-bugar, bersedia lembur, berkualifikasi lebih tinggi dan rela dibayar lebih murah.

Saran saya adalah jangan biarkan kualifikasi menghambat kita melakukan apa yang kita sukai, jadikan karya kita yang berbicara lebih lantang daripada data-data id CV kita. Cari perusahaan yang menghargai kemampuan kita, bukan aturan kualifikasi semata. Kalau belum ketemu perusahaan yang seperti itu, cari terus atau buka usaha sendiri! Seringkali, Anda bernilai lebih tinggi daripada yang Anda pikirkan.
Like the Post? Do share with your Friends.

0 komentar:

Artikel terbaru

Berita Handphone

More on this category »

Berita Internet & Web

More on this category »

Teknik Hacking

More on this category »

Berita Robot

More on this category »

Berita Pemrograman

More on this category »

Berita kamera

More on this category »