Soekarno adalah proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik
Indonesia yang memerintah sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Maret 1968.
Namun sebelumnya, pada 12 Maret 1967, kekuasaannya sebagai presiden
telah dicabut oleh MPRS dan dilimpahkan kepada Soeharto yang secara
resmi menggantikannya pada 27 Maret 1968.
Soekarno atau lebih dikenal sebagai Bung Karno, lahir 6 Juni 1901 di
Surabaya. Ayahnya adalah seorang guru sekolah rendah, bernama Raden
Sukemi Sosrodihardjo. Ibunya bernama Ida Nyoman Rai.
Sampai kelas 5, Soekarno bersekolah di sekolah desa Inlandse School
di Tulungagung. Kemudian ia melanjutkan ke Europese Lagere School di
Mojokerto. Pada umur 15 tahun ia masuk Hogere Burger School di Surabaya.
Disini ia mondok di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Ketua Sarikat
Islam, salah satu tokoh utama pergerakan nasional.
Bersama teman sepemondokannya, seperti: E.F.E Douwes Dekker, Tjipto
Mangunkusumo, Agus Salim, Muso, Alimin dan Darsono, Sukarno mendapat
pendidikan politik dari Tjokroaminoto. Pada umur 16 tahun, Sukarno masuk
Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java.
Setamat HBS, ia melanjutkan sekolahnya ke Technische Hogere School
(HTS) di Bandung. Disini ia kembali mondok di rumah Haji Sanusi, teman
Tjokroaminoto. Bakatnya sebagai orator ulung mulai terlihat. Ia tahan
berbicara berjam-jam dengan topik dan intonasi yang sangat menarik.
Keahlian ini ditunjang dengan penguasaannya atas beberapa bahasa asing
secara aktif. Setamatnya dari THS pada 1926, ia terjun di dunia politik.
Kiprah Politik
Tanggal 4 Juli 1927, bersama rekan seperjuangannya, ia mendirikan
Partai Nasional Indonesia, dan ia dipercaya sebagai ketuanya. Dalam
waktu singkat, PNI telah menarik simpati banyak orang. Kemajuan PNI yang
demikian pesat, mengkhawatirkan pemerintah penjajah Belanda. Akhirnya
pada Desember 1929, Sukarno dan sejumlah rekannya ditangkap. Meski
pembelaannya di pengadilan yang berjudul ‘Indonesia Menggugat’ menarik
perhatian internasional, pemerintah penjajah Belanda tetap menghukumnya
selama 4 tahun di penjara Sukamiskin, Bandung. Namun, pada akhir 1931 ia
dibebaskan.
Saat ia ditahan, PNI terpecah menjadi dua. Sebagian membentuk Partai
Indonesia (Partindo) dipimpin Sartono. Yang lain membentuk Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI-baru), dipimpin Mohammad Hatta dan Sjahrir.
Selepas dari penjara, Sukarno mencoba mempersatukan PNI kembali,
namun gagal. Akhirnya ia masuk Partindo dan terpilih sebagai ketua.
Tahun 1933 ia menulis risalah ‘Mentjapai Indonesia Merdeka’ yang
menyebabkan ia ditangkap tanpa pengadilan, dan dibuang ke Ende, Flores.
Awal 1938 ia dipindahkan ke Bengkulu. Disini ia menjadi anggota
Muhammadiyah. Ketika Jepang mendarat di Palembang, ia dipindahkan
Belanda ke Padang. Pada Juli 1942, ia dibawa tentara Jepang ke Jakarta.
Jepang akhirnya berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai seluruh
Hindia Belanda. Sukarno menyadari bahwa Jepang sama saja dengan Belanda.
Untuk itu dalam perjuangannya, ia lebih berhati-hati.
Oleh Jepang, para tokoh perjuangan seperti: Sukarno, Mohammad Hatta,
Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur, dicoba dirangkul dalam wadah
Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Jepang kemudian membubarkan Putera dan
membentuk Jawa Hokokai pada 1 Maret 1944, dengan pimpinan tertinggi
dipegang Gunseikan. Sukarno duduk sebagai penasihat.
Karena tentaranya yang semakin terdesak, Jepang mencoba menarik
simpati rakyat dengan janji akan memberikan kemerdekaan setelah usai
perang. Jepang kemudian membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bertugas menyelidiki semua aspek
politik yang berhubungan dengan pembentukan Republik Indonesia.
Pada 1 Juni 1945, dalam salah satu siding BPUPKI, Sukarno menyatakan
perlunya dibuat suatu dasar bagi negara Republik Indonesia yang akan
dibentuk. Saat itu Sukarno mengajukan lima butir pemikiran, yaitu:
Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat
atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah mengalami perubahan konsep kemudian diberi nama Pancasila, yang
menurut Sukarno digali dari kebudayaan sendiri.
Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Para pejuang
kemerdekaan Indonesia segera berinisiatif mewujudkan kemerdekaan.
Indonesia segera berinisiatif mewujudkan kemerdekaan. Namun terjadi
perbedaan pendapat antara Sukarno, Hatta dan beberapa rekannya di satu
pihak, dengan para pemuda seperti: Chaerul Saleh, Adam Malik, B.M. Diah,
Wikana, dan rekannya di pihak lain.
Para pemuda menghendaki perebutan kekuasaan dari Jepang secepatnya,
namun Sukarno dan kawan-kawan tidak menghendaki jatuhnya banyak korban.
Para pemuda kemudian menculik Sukarno dan Hatta pada dini hari 16
Agustus 1945 ke Rengasdengklok untuk memaksa Sukarno dan Hatta
memproklamirkan kemerdekaan. Atas usaha Ahmad Subarjo, selepas maghrib
16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta berhasil dibawa kembali ke Jakarta.
Malam harinya, diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang dihadiri wakil pemuda. Menjelang dini hari 17 Agustus 1945,
teks proklamasi selesai dibuat dan ditandatangani Sukarno dan Hatta,
mewakili bangsa Indonesia. Dengan didampingi Mohammad Hatta, pada pukul
10.00 WIB, 17 Agustus 1945, dibacakanlah teks proklamasi, yang menandai
kemerdekaan Republik Indonesia.
Esok harinya, PPKI bersidang di Gedung Kesenian Jakarta. Dalam sidang
tersebut, Sukarno dan Mohammad Hatta terpilih sebagai presiden dan
wakil presiden. Sidang tersebut juga mensahkan Undang-Undang Dasar
Negara.
Dalam rangka melucuti tentara Jepang sebagai pihak yang kalah,
tentara sekutu masuk ke Indonesia. Belanda menggunakan kesempatan ini
untuk menjajah Indonesia kembali. Tanggal 4 Januari 1946, Sukarno
memutuskan memindahkan ibu kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Pada awal kemerdekaan, situasi politik dan keamanan dalam negeri
masih ditandai banyak konflik. Kabinet demi kabinet berjatuhan dan
tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Militer I.
Tahun 1948, Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan di
Madiun. Sukarno berseru kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih
Sukarno-Hatta atau PKI. Akhirnya pemberontakan tersebut dapat ditumpas
pada 30 September 1948.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II
terhadap Yogyakarta, yang saat itu merupakan ibu kota Negara. Sukarno,
Hatta dan sejumlah menteri ditangkap Belanda. Sebelum ditangkap, Sukarno
memberi mandate kepada Sjafruddin Prawiranegara yang berkedudukan di
Sumatera untuk membentuk pemerintahan darurat. Pemerintahan darurat ini
berakhir setelah terjadi kesepakatan antara Belanda dan pemerintah
Republik Indonesia lewat perjanjian Roem-Royen.
Selanjutnya tercapailah Konferensi Meja Bundar di Den Haag yang
menetapkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 1950, RIS
berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Sukarno tetap
sebagai presidennya. Namun UUD yang berlaku saat itu adalah
Undang-Undang Dasar sementara 1950. Menurut undang-undang ini, kekuasaan
eksekutif berada di tangan perdana menteri, sedangkan presiden hanyalah
lambang. Pada masa ini kabinet demi kabinet pun berjatuhan, sehingga
tidak ada kesinambungan program pemerintahan.
Sementara itu, pemberontakan acap kali terjadi seperti pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan
(RMS), dan lain sebagainya. Pada 5 Juli 1959, Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden yang isinya antara lain memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945.
Namun pada prakteknya, banyak terjadi penyimpangan terhadap
pelaksanaan UUD 1945. Pada saat itu kekuasaan Presiden Sukarno menjadi
sangat besar, yang akhirnya menjurus pada kultus individu, antara lain
dengan ditetapkannya Sukarno sebagai presiden seumur hidup.
Kekuasaan yang demikian besar ini banyak dimanfaatkan oleh PKI untuk
mendekati Sukarno dan memperkuat dirinya. Akhirnya PKI melakukan
pengkhianatan dengan G-30-S/PKI-nya. Atas pemberontakan ini, Sukarno
enggan mengutuknya, karena menurutnya akan membuat perpecahan persatuan
dan kesatuan. Akhirnya MPRS mencabut kekuasaannya sebagai presiden dan
menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, yang
kemudian dikukuhkan pada 27 Maret 1968.
Sukarno meninggal pada 21 Juni 1970 di Jakarta. Ia meninggalkan
beberapa orang istri antara lain: Fatmawati, Hartini, dan Ratna Sari
Dewi. Untuk menghormati jasanya dilakukan upacara kenegaraan dan negara
dinyatakan berkabung selama 7 hari. Jenazahnya dimakamkan di Blitar.
0 komentar:
Posting Komentar