Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin kesultanan
Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya,
Sultan Mahmud Badaruddin.
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran
melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng.
Tahun 1821, ketika Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan
Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan pada 20 Oktober
2005 menggunakan Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai gambar hiasannya.
Penggunaan gambar ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, karena
gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya.
Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18,
Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. Berdalih
menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa ini berniat menguasai Palembang.
Awal bercokolnya penjajahan bangsa Eropa biasanya ditandai dengan
penempatan loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda
dibangun pada tahun 1742 di tepi Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB
II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat
Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di
samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada
atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya
dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan
emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang
merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels
memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut.
Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal
yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya,
Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang
(surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya
mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara
Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan
Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana
pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan
pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang
memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania
cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif
melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih
berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai
kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB
II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan
Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran
singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara
Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu
mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian
dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812
Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan
gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil
dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York�s Island. Di Mentok,
yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara
Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang
diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah
pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah
dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II.
Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik
takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada
Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena
mandat yang diberikannya tidak sesuai.
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali
kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803.
Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan
Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816
setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John
Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di
Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua
sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil
naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin
yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Mutinghe ke
Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada
raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke
pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan
inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya
diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia
menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan
sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan
habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB
mulai menyerang Belanda
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari
kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang
paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak
Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan
Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Mutinghe kembali ke
Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal Van der
Capellen merundingkannya dengan Laksamana JC Wolterbeek dan Mayjen
Herman Merkus de Kock dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang
dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum
SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai
penggantinya.
SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia
menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di
Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan
yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat
berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda
dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan
tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung
satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke
Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya
serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam
pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat
sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan
bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi
masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan dan orang Arab Palembang
melalui pekerjaan spionase, serta persiapan angkatan perang yang kuat,
Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16
Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata
pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada
20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda
mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia,
melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan
Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De
Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk
tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak
menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika
rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang
Palembang.
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira
di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan
yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda.
Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di
bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di
Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta
keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia
SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya 26
September 1852.
0 komentar:
Posting Komentar