Saat pertama kali seseorang memegang kamera baik kamera saku atau
cellphone, biasanya orang tersebut akan sangat senang karena bisa
membuat foto bunga dan kucing yang lucu. Percaya diri menjadi tinggi dan
menganggap diri sudah jago foto. Tapi setelah mendapatkan halangan
seperti foto di kondisi yang gelap, maka kepercayaan diri mulai menurun,
apalagi setelah melihat-lihat album foto fotografer yang berpengalaman
di internet.
Lalu, calon fotografer ini mulai mencari kambing hitam. Wah, gue
perlu kamera yang bagus nih, supaya fotoku semantap mereka-mereka yang
jago. Lalu pergilah calon fotografer ini ke toko kamera untuk membeli
kamera DSLR. Harapannya kualitas foto bisa meningkat dan bisa bagus di
keadaan apa saja termasuk kondisi cahaya yang gelap.
Ketika mengunakan kamera DSLR pertama kali, mode yang digunakan
adalah full automatic. Calon fotografer ini memang belum mengenal segitiga emas exposure.
Di dalam hati, bertanya-tanya.. kok bodoh sekali ya fotografer yang
mengunakan kamera DSLR dengan mode manual. Mengapa teknologi auto yang
canggih tidak dimanfaatkan? [Baca: manual atau auto]
Lama-kelamaan, fotografer pemula ini menyadari bahwa foto yang dibuat
dengan mode otomatis itu memang memiliki kendala untuk mendapatkan foto
yang terlihat lebih dramatis dan kreatif. Fotografer pemula ini lantas
mencari tahu apa itu aperture, shutter speed dan ISO dan bagaimana mengendalikannya.
Setelah itu, kualitas foto pemula tersebut semakin baik dan menarik.
Fotografer ini senang karena puas dengan karyanya dan di Facebook pun
sudah mendapatkan beberapa “like” dari teman-temannya.
Setelah itu, keinginan mendapatkan kualitas foto yang lebih baik lagi
mengebu-ngebu. Setelah nanya sana sini, fotografer pemula ini mulai
mencari tau alat-alat yang dipakai oleh fotografer yang lebih terkenal.
Di dalam pikirannya, fotografer yang berpengalaman mengunakan kamera X,
lensa X dan peralatan lighting yang harga totalnya 8 digit, gak heran
kualitas fotonya bagus-bagus. Lalu, sibuklah fotografer pemula tapi naif
ini sibuk membeli kamera dan lensa berkualitas tinggi. Gpp deh, agak
mahal tapi ada cicilan 12X, nol persen lagi! mantappp…
Setelah mencoba-coba gears barunya itu, fotografer ini makin pede,
kualitas foto memang semakin meningkat berkat bantuan gears baru ini.
Foto lebih tajam dan di kondisi cahaya yang gelap, foto masih terlihat
jelas dan noisenya pun hanya sedikit. Tapi masalahnya, foto-fotonya
masih kurang berkarakter. Seperti asal jepret saja. Tapi karena tingkat
kepedean yang sudah sangat melambung tinggi bagaikan dewa foto,
karya-karya sendiri itu dianggapnya sudah terbaik di dunia.
Sampai suatu hari, saat iseng-iseng melihat foto di internet.
Fotografer ini menemukan foto yang baginya sangat menarik karena
memiliki karakter, bercerita dan bermakna. Lalu fotografer ini penasaran
dan mengintip data EXIF foto tersebut untuk menemukan alat apa yang
digunakan untuk membuat foto tsb. Ternyata. foto ini dibuat oleh kamera
compact yang harganya hanya seperseratus dari harga kamera+lensa+alat
yang dimiliki.
Akhirnya, fotografer pemula ini menyadari, untuk membuat foto yang
bagus seringkali tidak dibutuhkan alat yang mahal. Lalu mulailah dia
giat belajar komposisi, teknik foto, teknik pencahayaan, photo editing
dan lain-lain. Kalau dulu selalu menenteng kamera dan lensa yang
berat-berat di pundak kemana-mana, sekarang dia mulai mencari kamera
yang berukuran kecil. Kadang-kadang ke pasar baru cari kamera film yang
bekas atau kamera Lomografi seperti Holga buat eksperimen. Asal bisa
masuk di kantong udah cukup untuk dibawa kemana-mana. “Kamera yang
terbaik adalah kamera yang dibawa bersamamu” kata Chase Jarvis. Tanpa
kamera di saku, bagaimana bisa membuat foto yang bagus saat momen itu
tiba?
Seiring dengan waktu, kualitas foto yang dihasilkan semakin tinggi
dan konsisten, tapi fotografer ini tidak merasa tinggi hati seperti
dahulu. Dia menyadari bahwa kalau merasa sudah “the best”, dan
meremehkan karya orang lain, maka ilmunya tidak akan berkembang, malah
mungkin akan jadi sesat.
Maka dari itu, dia selalu menganggap dirinya
biasa-biasa saja dan selalu terbuka pikirannya untuk belajar dari
fotografer lainnya, entah yang fotografer umum, atau fotografer yang
spesialis (fashion, beauty/glamor, still life, travel, photojournalism,
wedding, macro dan sebagainya). Dengan semangat terus belajar dan
bersikap rendah hati sampai akhir hayat, kualitas fotografi semakin
meningkat dan meninggalkan karya-karya yang bisa menginspirasi dan
diwariskan ke generasi-generasi penerus.
0 komentar:
Posting Komentar