Pintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat
yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah
muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang
mesti ditandatangani Sukarno.
Naskah itu tidak segera ditandatangani Sukarno. Dia sempat bertanya
tentang mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat.
Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat kepresidenan. Tapi
pertanyaan Sukarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk
membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja”.
Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno. Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno. Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Sukardjo ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang
bersikukuh menyatakan Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol
ke muka Sukarno karena bimbang menandatangani. Melihat itu, Sukardjo
sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk
melindungi presiden. Namun meletakkan pistolnya kembali, karena Sukarno
tidak ingin melihat pertumpahan darah. Surat yang akhirnya
ditandatangani Sukarno itu dikenal kemudian dengan nama Supersemar.
Surat Perintah Sebelas Maret.
Sukardjo juga bersaksi bahwa yang menghadap Sukarno adalah empat
jendral dan bukan tiga jendral seperti yang disebutkan selama ini.
Keempat jendral utusan Suharto itu adalah M. Yusuf, M. Panggabean, Amir
Machmud dan Basuki Rachmat. Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian
Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian
malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung
Karno”.
Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf
dan Panggabean sendiri. Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi
mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga
kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah
demikian?
Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang mudah digertak.
Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah Supersemar,
pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang tidak
kompromistik. Situasi yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu
bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu.
Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret. Sesudah
menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa
surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih. Permintaan itu
tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa
disadari Sukarno sedang menandatangani kejatuhannya.
Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan wahyu sebagai
pemimpin seakan sudah tercabut dari Sukarno. Sebagai presiden, Sukarno
sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang
satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya
sendiri.
Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk
mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI. Belakangan mandat
Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih
kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno. Dengan Supersemar itu Suharto
memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.
Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam
pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya! Jangan saya
dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang
dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.
Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol
diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung
Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan
dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.
Salah satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya,
adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar
diplintir! Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat
pada Suharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan
melengserkannya.
Kecurigaan Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi
Supersemar, tercermin dari pidatonya. Ketika itu Bung Karno mulai
melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai
“dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali,
dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.
Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan
pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of
sovereignty. Transfer of authority”. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret
adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah
pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan
jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet.
Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden.
Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran
Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.
Berdasarkan pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang.
Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya
Suharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan
dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara
misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara
sepenting itu bisa hilang?
Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy.
Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi
berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang
otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?
Menurut kesaksian staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5
(G-5 KOTI) Salim Thalib, naskah Supersemar yang dikenal sekarang adalah
palsu. Selain aslinya tidak serapi itu, isi naskah juga tidak sama
dengan naskah aslinya.
Jadi betulkah tuduhan beberapa kalangan yang menyamakan ini dengan
usaha penghilangan barang bukti? Kalau memang Supersemar tidak
diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak diplintir?
Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti dirancang dan Sukarno mesti
dipaksa menandatangani? Ada banyak teori konspirasi rumit tentang ini.
Tapi saya tertarik dengan teori berikut ini.
Latar belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam militer.
Latar belakangnya tak lepas dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam militer.
PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Dan Angkatan Darat ingin
menggeser PKI. Apalagi ketika itu Sukarno sudah mulai sakit-sakitan.
Mungkin usianya tidak lama lagi. Pokoknya siapa cepat, dia dapat. Antara
PKI dan Angkatan Darat sudah betul-betul sikut-sikutan.
Begitu meletus konspirasi G30S, inilah kesempatan Angkatan Darat
untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI
harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden
sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya yang punya hak untuk
membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak prerogatif
presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Sukarno kok belum mau juga
membubarkan PKI. Bagaimana ini?
Angkatan Darat melalui tangan Suharto pun mengambil jalan pintas.
Potong kompas. Caranya, harus dibuat sebuah surat perintah yang telah
terkonsep, yang membuat Angkatan Darat jadi punya alasan yuridis melibas
PKI. Konsep surat itu pun dibuat. Konsep Supersemar. Isinya perintah
presiden kepada Angkatan Darat (Suharto) untuk mengamankan negara. Nah,
dengan dalih mengamankan negara inilah Angkatan Darat jadi punya alasan
mengganyang habis PKI. Angkatan Darat memang berlomba dengan waktu.
Harus bergerak cepat. Kalau tidak, PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan
kekuatan dan mendepak jauh-jauh Angkatan Darat dari panggung kekuasaan.
Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah cepat!
Setelah itu Suharto memerintahkan para Jendral tadi untuk membawa
surat itu kepada Sukarno. Dengan pesan khusus, “pokoknya harus
ditandatangani Sukarno”.
Begitu Supersemar ditandatangani, itulah awal aksi pedang Orba. Nampaknya tanda tangan Sukarno tadi adalah pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk mengamankan yang bisa diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan. Di segala pelosok negeri berkubang darah jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI.
Begitu Supersemar ditandatangani, itulah awal aksi pedang Orba. Nampaknya tanda tangan Sukarno tadi adalah pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk mengamankan yang bisa diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan. Di segala pelosok negeri berkubang darah jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI.
Tak kurang Sukarno sendiri turut menjadi korban. Sukarno mengatakan
dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok (G30S PKI). Pelakunya harus
dihukum, kalau perlu ditembak mati. Tapi orang yang memperuncing
peristiwa G30S PKI, hingga terjadi provokasi membenarkan pembunuhan
jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah Sukarno bermaksud menujukan ini
pada Suharto?
Yang jelas, sesudah pernyataan Sukarno itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu bagaimana Sukarno diisolasi, dituduh terlibat G 30 S PKI tanpa bukti yuridis.
Yang jelas, sesudah pernyataan Sukarno itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu bagaimana Sukarno diisolasi, dituduh terlibat G 30 S PKI tanpa bukti yuridis.
Tentu saja tuduhan itu aneh. Karena bagaimana mungkin Sukarno dituduh
melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri? Buntutnya, semua yang
berhubungan dengan Sukarno menjadi tabu dibicarakan di masa Orba. Bahkan
beberapa departemen men-non-aktif-kan pegawai yang ketahuan
pro-Sukarno.
Setelah skenario berjalan seperti harapan, “para perancang”
Supersemar lalu mabuk kemenangan. PKI yang dulu jadi saingan utamanya
untuk merebut “kursi Sukarno” sudah tersungkur. Dan Sukarno sang pemilik
kursi juga sudah dipaksa meninggalkan kursinya. Suharto tak
menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang kosong tanpa pemilik itu harus
diapakan lagi kalau bukan diduduki?
Dan ketika kursi Sukarno tadi diduduki Suharto, di situlah awal mula
kasak kusuk politik tentang “penyelewengan Supersemar”. Apakah betul
tuduhan bahwa ada permainan sistematis Amerika di balik semua ini?
Yang jelas, dengan diselewengkannya maksud Supersemar, yang paling
berbahagia adalah Amerika. Karena itu berarti jatuhnya Sukarno. Akhirnya
mimpi Amerika terkabul sudah. Terang-terangan Amerika menyatakan
jatuhnya Sukarno sebagai kemenangan Amerika. Presiden Richard Nixon
menggambarkan kemenangan itu sebagai, “Hadiah terbesar dari Asia
Tenggara”. Sudah jelas. Karena hadiah sesungguhnya terletak pada
kekayaan alam Indonesia yang menanti untuk dikuras. Dan batu penghalang
yang menghalang-halangi Amerika menguras alam Indonesia, yaitu Sukarno,
sudah dibikin terjungkal. Inilah awal kemenangan Amerika yang sejak 10
tahun sebelumnya ingin menggulingkan Sukarno.
Bung Karno berhasil mengusir penjajahan Belanda. Tapi setelah itu
Bung Karno ambruk oleh Amerika. Mungkin karena cara Amerika lebih
cerdik. Soalnya Amerika tidak memegang gagang keris secara langsung
untuk menikam Sukarno. Keris itu diserahkannya kepada rakyat Sukarno
sendiri, yang menghujamkannya langsung ke presidennya sendiri, di
antaranya melalui provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya menunggangi
G30S.
Pasca G30S, rakyat menjadi sangat takut dengan yang kekiri-kirian.
Ini artinya Indonesia meninggalkan Rusia dan berpaling ke Amerika.
Dan setelah Supersemar dijadikan surat sakti untuk memberantas
sisa-sisa G30S, lalu pemegang Supersemar diangkat menjadi presiden,
Indonesia berubah haluan 180 derajat. Hampir semua jabatan vital
dipegang oleh perwira Angkatan darat. Sehingga rakyat berbisik
takut-takut dan bertanya siapa sebetulnya yang meng-kup Sukarno?
0 komentar:
Posting Komentar