Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo
menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun
setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam
masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.
DI Teluk Jakarta, sang “Imam” mengembuskan napas terakhir setelah
tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun
setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus
mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah
“Negara Islam”-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.
Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.
Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.
Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan
pemeluk Islam yang taat. “Keluarga kami cenderung abangan,” kata salah
seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus
menempuh pendidikan di sekolah Belanda.
Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal
sebagai “Sekolah Ongko Loro”, Karto kecil melanjutkan sekolah ke
Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia
meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus
untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.
Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang
boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke
Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di
Surabaya.
Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia
pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan “kiri”. Dia
diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya,
Mas Marco Kartodikromo.
Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran
merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan
bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat
literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru
mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat
Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan
Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu
mengenakan blangkon, beskap, dan selop.
Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar,
tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut
Belanda “Raja Jawa tanpa Mahkota”. Terpesona oleh pidato “singa podium”
itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat
Islam itu di Surabaya.
Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar
Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo
menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.
Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen
yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan
tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat
mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.
l l l
KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali
mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti
Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan
Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua
dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.
Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti
sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang
menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan
Kartosoewirjo di medan tempur.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia
meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika
memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi,
Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan
Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya
seorang pemimpin umat manusia.
Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat
bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di
hutan.
Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam,
Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi
yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli
politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap
Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam,
untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno.
Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh
di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai
sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun
setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam
terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi
di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.
Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena
alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih
mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula
yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi
cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus
cita-cita Kartosoewirjo.
l l l
UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini,
kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam
beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam,
Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan
banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan
rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul
Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan
keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah
ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda
dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.
Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan
gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo
tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari
hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu
merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir
perlawanan sang Imam dan pengikutnya.
Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma’had Al-Zaytun, yang
dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia.
Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku
sudah keluar “secara baik-baik” dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung
seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang
atau makan malam ala Tempo.
Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat
bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat
Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di
hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di
sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama
ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa
Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta.
Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.
0 komentar:
Posting Komentar