KEMAUAN dan kerja keras membawanya menjadi sosok yang dikenal
sebagai seniman wanita multi talenta. Disebut multi talenta karena ia
menciptakan karya-karya besar di beberapa bidang kesenian dan sastra
sampai saat ini. Dia adalah Hj Munasiah Nadjamuddin.
Beberapa karya wanita yang lahir 70 tahun silam ini. Di bidang seni
tari, wanita bersuamikan (almarhum) Najamuddin (tokoh sepakbola
Makassar) mampu menciptakan, Tari Pagalung, Tari Nelayan, Tari Patoeng,
Tari Batara, dan beberapa tarian lainnya. Semua diciptakannya dengan
“menguras” otaknya sendiri.
Hasilnya, sejumlah juara nasional mampu diraihnya. Tari Pagalung menghantarkannya pentas di Jakarta. Tepatnya, tahun 1965. Dia mampu menyabet juara II nasional. Namun, usahanya berkarier di seni tari tidak didapatkan dengan mudah. Berbagai rintangan juga dilaluinya.
Hasilnya, sejumlah juara nasional mampu diraihnya. Tari Pagalung menghantarkannya pentas di Jakarta. Tepatnya, tahun 1965. Dia mampu menyabet juara II nasional. Namun, usahanya berkarier di seni tari tidak didapatkan dengan mudah. Berbagai rintangan juga dilaluinya.
“Dulu orang tua tidak suka kalau saya menari. Kalau sudah pulang ke
rumah biasanya dicubit. Mereka (orang tua) tidak tahu saya ke mana.
Padahal, saya tidak kemana-mana hanya ke rumah ibu Nani Sapada (Hj Andi
Siti Nurhani Sapada), menari. Sebenarnya, lebih banyak sukanya dibanding
duka. Saya juga sempat menjadi penari di istana (negara). Itu sekitar
tahun 1957,” tandasnya.
Munasiah mengenal tari sejak usia 10 tahun. Talenta seninya yang
begitu besar dan kemauan berusaha membuat dirinya menjadi seorang
seniman besar di Indonesia. “Semua orang bilang begitu. Pak Pangerang
Pettarani juga menilai talenta saya waktu itu. Sampai-sampai saya
ditarik untuk bekerja di kantor gubernur. Padahal saya seorang guru,”
ungkapnya.
Guru memang merupakan latar belakang wanita ini. Bekerja sebagai
tenaga pendidik merupakan salah satu caranya untuk memajukan dunia
kesenian di daerah Sulsel. Berbagai metode pelajaran disusunnya dengan
rapih. Metode-metode pelajaran ini akhirnya disusun menjadi sebuah buku.
Buku itu berjudul “Tari Tradisional Sulawesi Selatan”. Kini buku itu
telah menjadi buku panduan bagi penari pemula.
Buku ini dicetak tahun 1983 di Percetakan Bhakti Baru. Buku yang
disunting wartawan Senior Sulsel, HM Alwi Hamu dan H Syamsu Nur, ini
dicetak sebanyak 136 ribu. Di edisi cetakan pertama, buku tersebut
membuat gempar seluruh Sulsel. Bukan hanya skala lokal saja, tetapi,
buku ini tersebar hingga luar negeri.
“Buku ini lengkap. Juga terdapat buku pengetahuan karawitan daerah
Sulsel. Jadi, dijual satu paket. Tapi, dicetak di Jakarta. Dari buku
itu, saya juga kadang mengajar melalui telepon ke Jerman. Mereka minta
supaya saya jelaskan gerakan-gerakannya. Yah, kujelaskanmi juga lewat
telepon,” ucap, Bunda (begitu ia biasa disapa), seraya tertawa.
Selain membuat sebuah buku, wanita yang melahirkan 10 orang anak ini
juga membuat novel. Karya tulisnya, seperti, novel gilimanuk,
Jalabaranna Bantaeng, Malania Daeng Makanang. Bahkan, juga terdapat
beberapa buah karya – karya tulisnya berupa puisi. Seperti, kumpulan
puisi Tiga Perempuan.
Berkat ketenarannya melalui dunia seni tari ini, dia juga terjun ke
ranah politik. Bahkan melalui partai politik dia merasakan duduk di
parlemen selama dua periode. Berkat kepiawaiannya di dunia seni, bahkan
tidak segan-segan dia muncul film layar lebar berjudul “Jangan Rebut
Cintaku”.
Film yang menghantarkan Rahman Arge mendapatkan piala citra ini,
Bunda beradu akting bersama, Conny Sutedja, Dian Nitami, Mathias Muchus.
Nah, industri per-film-an ini yang kini dirindukan nenek dengan puluhan
cucu ini.
“Saya berencana membuat film berjudul “Perjalanan”. Diharap pemerintah Sulsel dan Sulbar mendukung film ini,” tandasnya.
Film “Perjalanan” ini tidak terpisah dari sejarah. Sedianya film yang
disutradarai Arman Dewarti ini akan menceritakan hubungan antara
Kerajaan Badung (Bali), Mamuju, Sulbar, serta Gowa, Sulsel. Film ini
berlokasi syuting di Sulbar dan Sulsel.
Film ini mengisahkan tentang seorang pelaut asal Mandar, Sulbar yang
senang melanglang buana. Suatu saat pelaut ini melabuhkan kapalnya di
Batulicin, Balikpapan. Di daratan dia bertemu dengan seorang wanita asal
Bali. Pertemuan ini berlanjut hingga ke pelaminan. Dari pernikahannya
ini, pelaut ini kemudian melahirkan seorang anak.
Berselang beberapa lama, pelaut ini kembali ke kampung asalnya. Anak
dan istrinya tetap berada di Balikpapan. Tiba di kampung halamannya,
pelaut ini kembali dinikahkan dengan seorang putri. Pernikahan keduanya
ini juga membuahkan seorang anak.
“Berselang beberapa tahun kemudian saat anaknya beranjak dewasa dan
siap untuk dinikahkan, hatinya tersentak. Ternyata, yang dilamarnya
merupakan anak dari istri pertamanya. Film ini tidak akan meninggalkan
hubungan sejarah dua daerah dan kondisi saat ini. Biar akan meluncurkan
film, tapi, seni tari tetap menjadi perhatian saya. Saya tetap akan
mengajar tari. Seni tari harus tetap terjaga dan dilestarikan generasi
penerusnya,” bebernya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar